Hampir setahun misteri ini terpendam karena pergolakan batin apakah layak untuk dijadikan bahan renungan bersama yang dapat membawa kemaslahatan bagi bangsa dan negara atau justru sebaliknya yakni kemudzaratan dan fitnah. Namun karena menyadari bahwa intensitas antara yang pro dan kontra untuk mengadakan perubahan lagi terhadap UUD 1945 semakin meruncing dan kecenderungan mengubur Negara Proklamasi yang berdasarkan “PANCASILA” sehingga kian hari – kian nyata adanya hasrat untuk mengganti “PANCASILA” dengan “PIAGAM JAKARTA” sebagaimana Provinsi : NAD, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Riau dan Sumatera Selatan serta 38 kabupaten dan 12 kota, yang telah ramai – ramai memberlakukan perda yang bernuansa syareat Islam, juga adanya rencana Perda tentang Kota Injil seperti di Manukwari, Papua Barat. Sudah barang tentu hal ini menyimpang dari amanat Founding Fathers yang telah berjuang dengan harta, darah dan nyawanya untuk meraih kemerdekaan. Atas Berkat dan Rahmat – NYA Negara Proklamasi itu terwujud. Maka sebagai rasa syukur seharusnya kita pelihara – kita isi – kita dayai bersama agar tujuan luhur untuk menjadikan bangsa ini hidup dalam alam kemerdekaan yang hakiki (freedom to be free), berdaulat, adil & makmur dengan laku hidup PANCASILA dapat terwujud.
Jangan sampai kufur nikmat karena sumbang sih kita sebagai anak bangsa tentu amat sangat tidak sebanding bila ditimbang dengan pengorbanan para pejuang – para pahlawan – para founding fathers maupun nenek moyang kita apa lagi hanya sekedar “menenggelamkan ego” saja kita belum mampu mempersembahkan kepada bangsa dan negara tercinta ini ?
Betapa arif para founding fathers bahwa sisi kemanusiaan – humanisme yang tercerahi oleh Kemaha Hadiran Tuhan Yang Maha Esa menjadikan Sila II tidak saja cukup hanya dengan Kemanusiaan akan tetapi disempurnakan dengan kata – kata “yang adil dan beradab”. Oleh sebab itu sikap mental yang ingin menang sendiri, benar sendiri, berhak sendiri tentu tidak memenuhi Sila II tersebut. Antara HAM dengan KAM (Kewajiban Asasi Manusia) senantiasa hendaknya seimbang.
Memerangi kebodohan dan kemiskinan serta menjadikan masyarakat yang beradab adalah jauh lebih mulya karena menempatkan sisi kemanusiaan sebagai mana mestinya sebaliknya pemaksaan ego justru merudusir nilai – nilai kemanusiaan dan HAM itu sendiri. Karena sebagai warga mayoritas otomatis kita menempatkan pada posisi di atas, posisi menang dan posisi yang harus diuntungkan dan diikuti oleh yang bukan beragama Islam. Kita lupa bahwa keluhuran budi pekerti, keterpujian sebagaimana diajarkan oleh nabi Muhammad saw itulah hendaknya yang wajib kita tiru dan hayati, juga bagaimana suri tauladan dari Sang Buddha Gautama (Sakyamuni) tentang keseimbangan dan jalan tengah serta Yesus Kristus tentang kasih sayang, semuanya adalah cerminan dari sifat – sifat –NYA.
Kejumawaan kita tidak lagi menghormati perjuangan para pendahulu kita serta pada alam semesta telah dibayar dengan mahal yakni dengan adanya berbagai petaka dan bencana alam yang kian nggegirisi ini. Alam sebagai saksi atas sumpah dan janji dan perilaku umat manusia karena mereka juga sebagai mahkluk TUHAN SERU SEKALIAN ALAM yang mengemban mandat dari Sang Khaliq. Jangan anggap enteng.
Maka lewat peristiwa alam khususnya Gempa Bumi Jogya dan Jawa Tengah pada 27 Mei 2006, juga tsunami di NAD pada 26 Desember 2004, serta makna LAPINDO yakni “Laku lampah bangsa Indonesia ini penuh dengan lumpur dosa”, seyogyanya mampu menyadarkan tidur panjang kita untuk merenda hari esuk yang lebih baik dengan ajaran Bung Karno yakni : “Berdikari di bidang ekonomi, berdaulat di bidang politik dan berkepribadian dalam kebudayaan” yang masih amat relevan untuk selalu kita laksanakan bersama. Andai saja apa yang dicanangkan olehnya tersebut dilaksanakan secara berkesinambungan dan konsisten bisa jadi kita sudah sejajar dengan bangsa – bangsa maju lainnya atau justru bangsa kita berada di barisan terdepan. Tapi dengan adanya ekses “Desoekarnoisasi” idea dan gagasannya sebaik apapun tidaklah layak untuk dilaksanakan dan naifnya tenaga – tenaga skill – para ahli yang telah usai tugas belajar di luar negeri yang dipersiapkan Bung Karno yang kini banyak menyandang gelar Profesor yang terdampar di negeri orang, tidak dapat menyumbangkan keahliannya bagi bangsa dan negara karena alasan politis belaka. Untuk dapat meneruskan cita – cita founding fathers hanya bisa dilaksanakan dengan sandaran nurani, qalbu, alfurqon atau nilai spiritualitas bukan politis.
Maka saatnyalah kini bagi generasi reformasi atau era transisional ini kita hilangkan sikap skeptis dan hujat – menghujat karena setiap tokoh mewakili era dan memenuhi panggilan sejarahnya masing – masing. Sungguhpun demikian kita harus bijak dan arif untuk “mengatakan benar yang sebenarnya dan katakanlah salah yang sebenarnya” agar kita dapat mengambil hikmah dan tidak mengulangi kesalahan yang serupa yang telah diperbuat oleh para pendahulu kita.
Akhir kata semoga sekecil apapun kebenaran buku ini dan sebesar apapun kekeliruannya semoga masih mampu membangkitkan nurani dan daya kritis spiritual kita terhadap sesuatu yang maya, yang semu sebagai fatamorgana yang acap kali memperdaya kalbu kita.Jayalah negriku, jayalah bangsaku.
Jakarta, 21 Juni 2007
Sungkem dan permohonan maaf penyaji
Sri Widada Putu Gedhe Prawira
MISTERI “SI –JUM – LUNGA”
& PERINGATAN SETAHUN
GEMPA BUMI DIJ & JATENG 27 MEI 2007 UNTUK SEGERA KEMBALI KEPADA NEGARA PROKLAMASI
(Oleh Sri Widada Putu Gedhe Prawira, Sanggar Blokosuto/
Yayasan Lembaga Budaya Nusantara).
PENDAHULUAN
Deraian air mata dan darah belum mengering dari ratusan ribu saudara – saudara kita di penjuru Nusantara ini, yang menjadi korban becana alam dan non alam, kita yang masih dikaruniai nikmat hidup – nikmat asasi, kembali bertanya – tanya mengapa ya Tuhan Seru Sekalian Alam, petaka dan musibah senantiasa silih berganti menimpa bangsa dan negeri tercinta ini ?
Hamba – Mu sadar bahwa ENGKAU telah berfirmn :
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh kejahatan yang dilakukan manusia. TUHAN bermaksud menjadikan mereka itu merasakan sebagian dari akibat perbuatan – mereka, agar mereka itu dapat kembali kepada – NYA”. (QS : Al – Rum ayat 41).
Musibah (bencana) apapun yang terjadi di bumi dan menimpa manusia, pasti telah tertulis dalam kitab (Al – lalah Al – Mahfudz). Sebab Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi – NYA”.(QS : Al – Hadiit ayat 22).
Dengan memohon ampunan – MU,Ya TUHAN, semoga hamba-hamba -MU senantiasa mampu berserah diri seiring alam ini telah ENGKAU pertontonkan kedahsyatannya yang tak terhitung lagi jumlahnya. Semoga kawula – MU, KAU anugerahi kekuatan dan hidayah – inayah – MU guna menjalani kuwajiban hidup ini.. Kami sadar bahwa selama ini kami lengah dan terninabobokan oleh yang maya, yang semu, yang palsu dengan penuh ego dan sejuta daya pikatnya. Kami kini telah menjadi masyarakat yang lebih mendukung nilai – nilai kebebasan individual dan yang bersifat dialektik diametrik antogonistik dari pada nilai – nilai keselarasan, keseimbangan dan keserasian dalam mikrokosmos atau terhadap makrokosmos. Ampunilah Tuhan. Begitu banyak ENGKAU berfirman melalui Seru Sekalian Alam ciptaan – MU, tapi kami tak kuasa dan tak mampu untuk menangkap tanda – tanda itu dan suara mereka.
Tulisan “MENGUAK MITERI ‘SI – JUM – LUNGA’ DAN PERINGATAN SETAHUN GEMPA BUMI DIJ & JATENG 27 MEI 2007, UNTUK SEGERA KEMBALI KEPADA NEGARA PROKLAMASI” ini hanyalah sebuah probabilitas karena kebenaran hanyalah milikNYA semata, sehingga kearifan dan kebijaksanaan berpulang kepada para pembaca yang budiman. Penyaji hanyalah ibarat debu di antara gunung yang begitu galau yang masih penuh nafsu melihat situasi reformasi – transisional yang secara spiritual cenderung mengubur bangunan Negara Proklamasi yang diwariskan oleh para pejuang dan pahalawannya dengan mengorbankan harta benda, kesenangan, waktu, air mata, darah dan nyawanya agar cucu – cunya kelak dapat menikmati hidup dalam alam kemerdekaan (yang hakiki – freedom to be free) , bersatu, berdaulat, adil & makmur dengan laku hidup PANCASILA. Naifnya justru kini semakin jauh dari amanat penderitaan rakyat dan wasiat para pendiri bangsa.
Dalam rangka ikut menunjang tujuan luhur mereka apalagi menurut Bung Hatta yang sangat mendambakan terciptanya bayangan kerajaan Allah yang ada di bumi Nusantara ini sebagaimana ratu adil, dengan idea Bung Hatta pasal 33 dan 34 UUD 1945. Maka impian tersebut akan dapat tercapai manakala bangsa ini benar – benar dapat mengamalkan laku hidup PANCASILA yang telah diatur di dalam UUD 1945, dengan benar & tepat (bener tur pener), maka sajian ini datang ke hadap- an sidang pembaca sekalipun dengan segala kekurangannya. Ini sebagai dharma dan bentuk cinta kasih terhadap bangsa dan negara dan handai taulan sekalipun ada yang berbeda pandang.
UD 1945 bukanlah hanya merupakan kumpulan kata – kata yang hanya dapat dimaknai secara harfiah, leterlijk, yang tersurat karena di dalamnya penuh suasana batiniah, penuh pesan isoteris, penuh nilai spiritualitas. Sehingga penuh dengan pokok – pokok pikiran. Apa yang dituntut adalah bagaimana praktek sesuai dengan suasana kebatinan (geistlichen hintergrund), karena terjadinya teks itu dalam suasana apa ? Mengapa teks itu dibikin. Dalam istilah Islam dikenal dengan “hasbabuun nuzuul”. Maka orang – orang bijak meminta kepada berbagai ahli termasuk ahli hukum / tata negara maupun para elit penyelenggara negara seyogiaanya tidak menafikan makna yang tersirat di dalamnya. Kekeringan rohani, kegersangan nurani – qalbu, akan berdampak pada ambruknya sebuah bangunan yang bernama NKRI. Karena Pak Harto, berkuasa 32 tahun, lantas pasal 7 UUD 1945 yang berbunyi : “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.”. Dipersalahkannya, sehingga harus dirombak total ! Sedangkan dapat dipilih kembali dalam pengertian spiritual – yang batin “hanyalah setelah satu periode dapat dipilih kembali untuk sekali masa jabatan saja”. Lain halnya bila kalimatnya berbunyi “dapat dipilih berkali – kali atau kembola – kembali”, dan bila itu secara verbal yang dipermasalahkannya seharusnya “cukup menyempurnakannya dalam Penjelasan UUD 1945”, tidak harus merubahnya secara fundamental. Ingat Presiden Soekarno yang ditetapkan sebagai Presiden seumur hidup oleh MPRS, meminta agar keputusan tersebut dipertimbangkan kembali oleh MPR mendatang. Sedangkan hasil Pemilu 1955 adalah konon yang paling demokratis sepanjang Republik berdiri.
Banyak pihak berdesah bahwa let be gone be by gone, nasi telah menjadi bubur, nyatanya UUD 1945 telah disulap dengan “weltanschauung asing” (penggalian kultural dari nilai filosofis budaya dan adat istiadat yang asli, bukan tiruan/asing dari komunitas rakyat yang mau merdeka).Filosofi gotong royong (masohi/siadapari/gugur-gunung/sambatan),pelagandong, kekeluargaan, bhinneka tunggal ika/ pluralisme, kekitaan, musyawarah dengan berhikmad dengan bentuk perwakilan, memayu hayu – harjaning bawana, keseimbangan dan nilai – nilai luhur lainnya yang teraktualisasikan ke dalam “PANCASILA” telah ditukar dengan “filosofi individualisme – materialistik – liberalisme – kapitalistik”. Bangsa Nusantara yang bersifat simbiosis : “relying one another for survival, to live and let lives” telah bergeser kepada paham masyarakat Barat yang menekankan “survival of the fittest”. Bukankah terbentuknya suatu bangsa karena salah satu unsurnya adalah adanya kesamaan asal – usul dan adat istiadat budayanya sendiri ? Mengapa kita silau terhadap budaya dan sistem Amerika – Serikat dan separonya lagi berkiblat ke dunia Arab? Rakyat pemilik sah kedaulatan bangsa ini tidak lagi memiliki perwakilan, tidak lagi berhikmad dalam bermusyawarah. Bahkan institusi ABRI/TNI dan Polisi ikut kena imbas dan harus hengkang dari legislatif. Kita lupa bahwa sejarah berdirinya bangsa dan Nengara ini karena peran rakyat semesta yang sebagian terpanggil untuk bela negara dengan mempersenjatai diri seperti mereka yang tergabung dalam Laskar Rakyat, TRIP, Tentara Pelajar, Hisbullah, PETA dan lain sebagainya untuk menjadi pejuang – merebut kemerdekaan dan menjadi dipa negara, yang akhirnya menjadi TNI & Polisi. Dia adalah juga unsur bangsa, anak kandung rakyat. Kesalahan suatu rezim yang memanfaatkan institusi tersebut demi sebuah kekuasaan tidak berarti boleh menafikan sejarah dan keberadaannya. Persis nasib PANCASILA karena kekeliruan P4, lantas dicampakkan begitu saja. Logiskah, masuk akalkah para amandementor – legislator, befikir dan mengambil kebijakan seperti itu ? proporsionalkah ? atau termasuk part pro toto, totem pro parte ? sehingga jasa – jasa founding fatherspun tidak lagi dihargai. Apa lagi para leluhur dan karuhunnya sendiri..Amanatnya dicampakkannya!
Benar MPR memiliki kewenangan untuk merubah UUD 1945 sebagaimana amanat pasal 37, namun disamping tidak ada mandat rakyat karena itu di luar tuntutan reformasi pari purna juga ada kesepakatan tidak akan merubah Preambule. Namun demikian pada hakekatnya sekalipun secara redaksional sama sekali Preambule tersebut tidak berubah akan tetapi secara spiritual – substansial – operasional – esensional Preambule telah tercabik – cabik karena “Sila IV PANCASILA” yakni : “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan” . Sila tersebut telah dikerdilkan dan tidak lagi secara bulat dilaksanakannya. Karena Perwakilan tidak lagi ada kecuali hanya diwakili oleh para elit partai politik , akibatnya secara individual rakyat dituntut untuk memilih secara langsung para pemimpin eksekutif dari Lurah sampai Presiden kecuali Sang Camat yang sebenarnya merekapun sebagai pemimpin wilayah. Lalu hak bagi rakyat yang tidak menjadi anggota partai politik dikemanakan ? Juga yang memegang teguh adat – istiadat yang menjauhkan diri dari hingar bingar politik seperti suku Badui Dalam, atau suku – suku terasing lainnya siapa yang peduli ? Belum lagi unsur – unsur bangsa lainnya ? Kasus terkini adalah penjaringan cagub/cawagub DKI Jakarta yang hanya meloloskan 2 pasangan dan membenamkan calon independen dan menafikan calon yang tidak berduit ? Quovadis!
Bukankah ini wujud pengingkaran HAM dan juga bukan saja sila IV akan tetapi juga sila II , Sila III maupun Sila V ? Nota bene PANCASILA sudah bukan lagi menjadi dasar negara, pandangan hidup bangsa, filosofi bangsa.
Fakta sejarah kontemporer tersebut dapat disimpulkan oleh para pecinta kebajikan bahwa yang mengklaim sebagai kaum reformis bersama kaum elit politik telah merampas daulat rakyat, merekalah (yang beranggapan) satu – satunya yang sah mewakili bangsa ini dengan bentukan senator – senator ala Nusantara (DPD) yang kebingungan.
Nurani – spiritualitas – moralitas sebagai suar tidak lagi menjadi pegangan karena fatamorgana kekuasaan lebih memikat dan menjanjikan. Akibat dari pengingkaran tersebut maka timbullah bencana undang – undang, bencana birokrasi, bencana kebangsaan, bencana sejarah dan bencana berbangsa dan bernegara dan alampun akan menuntutnya sehingga berbagai bencana alam yang terjadi selama ini seyogyanya tidak dinafikan seolah hanyalah merupakan peristiwa alam biasa ? Karena bisa jadi pergolakan alam selama ini masih merupakan pemanasan, sinyal, tanda, himbauan bagi bangsa ini. Yang bisa jadi tragedi alam yang lebih dahsyat kapan saja dapat muncul tiba – tiba, sebagai azab.
A. SUATU MISTERI PERGOLAKAN ALAM
Semenjak bencana tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pada hari Minggu Pahing, pagi 26 Desember 2004 yang masih dalam suasana peringatan Hari Natal, ternyata setelah diamati selama tiga tahun berturut – turut setiap datang peringatan hari besar keagamaan kaum Kristiani senantiasa diikuti oleh bencana alam dahsyat. Sebagai bahan renungan – kajian dan penghayatan syukur mampu mendorong adanya pertobatan yang sungguh – sungguh (tobatan nasuha), karena apa yang dimotori oleh Menteri Agama Mahtuf Basyuni, 2 Maret 2007, dinilai oleh banyak pihak masih terkesan seremonial. Berikut fakta – peristiwa alam dan non alam yang terjadi antara lain seperti :
1. 28 Maret 2005, hari Minggu Pon, Selang dua hari peringatan wafatnya Isa Almasih terjadi gempa bumi di Nias dengan korban jiwa dan harta benda yang tidak sedikit. Yang hingga kini masih menyisakan banyak pengungsi.
2. 27 Mei 2006, hari Saptu Wage, selang dua hari peringatan Kebangkitan Yesus Kristus di Daerah Istimewa Jogyakarta dan Jawa Tengah, gempa bumi memporak perandakan Jogya dan Jawa Tengah dan menewaskan ribuan jiwa manusia.
3. 7 April 2007, keesokan harinya, Saptu Wage setelah peringatan Paskah Agung terjadi gempa bumi di Manggarai Barat sehari dua kali berkekuatan 5.2SR. DIJ, kembali diserang angin puting beliung di desa Wonokromo, Plered, Bantul. Kereta Api Tawang Jaya jurusan Semarang – Jakarta terguling di Tegal, menewaskan 2 orang. Dan pada hari berikutnya Minggu Kliwon, 8 April 2007 DIJ puting beliung masih menghantam Prambanan. DKI jalan – jalan raya kebanjiran dan pohon – pohon besar bertumbangan.
4. 17 Mei 2008, Kamis Pahing, saat memperingati Kebangkitan Yesus Kristus terjadi berbagai kecelakaan moda transportasi. Honda Jazz terjun bebas dari ITC Permata Hijau, sekeluarga suami isteri dan putraya menjadi korban. Sebuah truk tercebur di pelabuhan Merak, Banten. Juga kecelakaan di jalan tol Jakarta – Bandung. Gelombang besar menghantam pesisir DIJ dan pada 18 Mei 2007, Jumat Pon, meluas dari Aceh sampai ke Nusa Tenggara Barat. Konon ketinggian terbesar sampai 15M terjadi di DIJ. Juga kebakaran pasar di Boyolali dan Samarinda.
Note : dari sisi waktu – hari kejadian saja telah nampak adanya suatu misteri ? Bukankah Jumat adalah hari sakralnya bagi umat Islam ? Saptu adalah hari sabat, hari sakralnya bagi kaum Yahudi dan Minggu adalah hari sakralnya kaum Kristiani ?
Peristiwa demi peristiwa tersebut tentu bukanlah hanya kebetulan semata karena dalam dunia spiritual tidak mengenal kamus kebetulan karena semua terjadi atas Karsa dan Kuasa – NYA. Dan oleh kearifan budaya lokal sering dinyatakan oleh masyarakat Jawa dengan istilah “Dilalah Kersane Allah”.
Dan bukankah alam semesta raya dengan berbagai perubahan ini merupakan Kitab Tuhan Seru Sekalian Alam juga ? Sehingga budaya lokal menyebutnya dengan “Tulis Tanpa Papan Kitabnya Adam makna” ? Apa yang tersirat pada jagad raya ini memiliki makna sekalipun tanpa tersurat ! Boleh jadi pemahaman tersebut mengacu pada wahyu petama kali yang diterima oleh Ahmad yang kemudian bergelar menjadi Muhammad saw dengan menghayati perintah – NYA “I qro’ “ ! (Bacalah!). Sekalipun beliau seorang buta huruf karena keluhuran budi pekertinya dan kecerdasannya (Iq, emosi dan spiritual) mampu menghayati seruan – NYA tersebut akhirnya membawanya terpilih menjadi seorang nabi (terakhir) dan sekaligus sebagai rasul – NYA. Muhammad artinya terpuji., tauladannya dari tauladan.
B. MISTERI SI – JUM – LUNGA
Peristiwa bencana alam di NAD dan DIY nampaknya memiliki pesan khusus dan mungkin mengingatkan adanya stigma yang sama – sama menyangdang gelar “DAERAH ISTIMEWA”.
Bila di NAD, yang bekas kerajaan Islam pertama di Nusantara yakni Samudera Pasai yang berdiri tahun 1297M di pesisir Timur Laut Aceh, Lhokseumawe, rajanya bernama Merah Silu atau bergelar Sultan Al – Malik Ash Shaleh yang menikah dengan putri raja Perlak (Ferlec) kerajaan Islam di Sumatera bagian Utara.
Itu tentulah erat kaitannya dengan “AGAMA ISLAM” sehingga disebut sebagai “SERAMBI MEKAH”.
Sedangkan DIJ erat kaitannya dengan “PUSAT BUDAYA – PUSAT PERADABAN BANGSA” demikian juga Jawa Tengah dengan Borobudhur dan Kraton Surakarta Hadiningratnya.
Bisa jadi semuanya memiliki pesan spiritual yang sarat dengan tanda tanya (?) bukan tanda ! (seru). Seperti konsistenkah – sudah benarkah – sudah tepatkah penghayatan atas kedua status tersebut yang satu membawa nama Islam dan yang lain mengemban misi budaya/peradaban ?.
Kita dibuat terbelalak dan tersentak oleh fenomena Mbah Maridjan, Sang juru kunci Gunung Merapi, yang merupakan ikon kebangkitan kearifan budaya lokal. Setelah pimpinan dan sebagian besar masyarakat DIJ/Jateng merubah adat dan tradisi menghormati sesama mahkluk Tuhan dengan berbagai macam ritual seperti bersih desa, sedekah bumi, sedekah laut, memboyong Dewi Sri dan labuhan serta semacamnya yang dianggap kontra produktif, tidak Islami, musrik dan sebagainya. Akibatnya human being – menjadi manusia yang kehilangan : rasa pangrasa, kasih sayang, tali – kasih, silaturahim, penghargaan terhadap jasa sesama mahkluk Tuhan. Kering rohani , gersang kasih sayang, sampai – sampai terhadap sanak saudara sendiri bahkan antar anak dan orang tua, rasa kasih sayang sering raib dari kehidupan kita sehari – hari.
Mengapa Mbah Maridjan yang nota bene abdi dalem kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Ngb. Suraksa Hargo, naik daun dan menjadi ikon ? Karena “ketulusannya bersahabat dengan alam khususnya Gunung Mrapi”. Dia tidak peduli kata orang dicap sebagai orang musrik – sirik dan sok, ia bergeming, ia abaikan semua suara sumbang itu karena begitu eratnya hubungan batin dengan bumi yang dipijaknya yang terpenting dengan cara memayu hayuning bawana atas doa dan laku mampu mendayai masyarakat Merapi dan Jogya yang terancam letusan gunung yang sedang kurda dan mengamuk. Dan sekalipun setelah dia masyur – terkenal, dia terpedaya dengan gemerlapnya dunia media layar kaca yang mengantarkan menjadi selebritis iklan Extra JOOS ! , toh hasilnya dia manfaatkan demi kemajuan lingkungannya dan bahkan disumbangkannya ke berbagai daerah untuk pembangunan masjid dan lain – lain. Bandingkan dengan diri kita yang hanya dapat memberi stigma miring dan merendahkan daya upayanya? Untuk menjaga keselamatan kita sendiri dan keluarga saja belum tentu kita bisa ? Apa lagi memberi manfaat kepada orang lain ?. Lha sekedar egopun kita begitu pelitnya.
Nah Mbah Maridjan dengan keluguannya, kepolosannya, ketulusannya dan loyalitasnya pada junjungan dan alam serta dengan segala kekurangannya telah mampu mendayai dan memberikan sumbangsih terhadap keselamatan sesama dan lingkungannya. Kita bersyukur karena di Nusantara ini masih ada Mbah Marijan – Maridjan lain sungguhpun tidak sepopuler dengannya. Akankah tetap kita kucilkan dan cela dharma bhaktinya ? Ataukah kita beri apresiasi atas habluminalaminnya .
Pendek kata ikon Mbah Maridjan bagaikan gugat & bertanya pada rumput yang bergoyang : “Wahai pusat peradaban apakah kini dirimu wis jawa atau durung jawa atau wis ilang jawane ?”. Konotasi jawa bukanlah berkaitan dengan suku karena arti jawa adalah jawab yang mampu menjawab dengan benar dan tepat tentu hanyalah orang yang berjiwa, berjawa dan berjawi yakni, prasaja, beradab atau beretika, bersopan santun, berasa – pangrasa!
Maka sekalipun orang yang lahir di Jogya atau Solo sendiri namun tidak beradab maka bukan termasuk orang jawa, sebaliknya sekalipun binatang tapi beradab (maaf misal anjing yang dapat diajar sopan santun oleh majikannya) dapat dikatakan binatang jawa.
Namun betapa sial bagi anjing jawa tersebut sering kali apes karena salah tafsir dari Hadis yang dinukil dari kitab Hadits Jami’uh Shoghir Bab huruf Lam Alif hal. 335 yang artinya : “Tidak mau masuk malaekat di salah satu rumah yang di dalamnya rumah itu ada anjingnya”. (beda antara kalbun yakni anjing dan qolbun yakni hati).
Akibatnya banyak anjing kampung yang dipenthungi bahkan diracuni. Kasihan sekali nasibnya. Tidakkah ada sedikitpun peri kasih sayang ? Dia juga mahkluk Tuhan Seru Sekalian Alam.
Sedangkan QS : Qof ayat 18 menandaskan bahwa : “Tidak keluar salah satu ucapan kecuali ucapan yang keluar ditulis oleh malaikat Roqib dan Atid”.
Nah manakala Hadist di atas dimaknai secara harfiah tentu dapat kita lakukan banyak – banyak pelihara anjing agar malaikat tidak mau masuk rumah sehingga kejahatan kita tidak akan ditulis oleh mereka bukan ?
Hadist tersebut oleh sufi tersohor Imam Ghozali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin jilid I bab 5 hal. 55 mengulasnya : “Hati manusia itu adalah rumah. Ia tempat turunnya malaikat dan tempat atsarnya sinar malaikat dan tempat tetapnya atsarnya malaikat. Adapun sifat – sifat hati yang tercelah umpamanya : sifat mudah marah dan syahwat dan uneg – uneg yang tidak baik dan sifat dengki dan sifat ujub dan saudara – saudaranya sifat yang tercela semuanya itu adalah anjing”!
Dalam literatur Hindu bahwa manusia memiliki cakra – cakra, dimana hakikat Dewa Syiwa bersemayam pada (cakra) hati. Maka bila hati baik maka baiklah dunia ini namun bila hati kita rusak maka rusak pulalah dunia ini. GOD sendiri dapot disingkat G = Generation (Bethara Brahma), O = Operation (Bethara Wisnu) dan D = Destroy (Bethara Syiwa). Adanya Sifat – NYA.
Jadi anjing tersebut kiasan dari sifat buruk diri manusia sendiri maka dalam pewayangan anjing adalah yang pertama dapat masuk nirwana (surga) bersama Tuannya yakni Puntadhewa atau Yudhestira atau Dharmakusuma!
Pernyataan Imam Ghozali tersebut identik dengan Injil, Korintus 3 ayat 16 : “Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa roh Allah diam di dalam kamu? “.
QS : Qof ayat 16 menandaskan : “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia, dan Kami tahu apa yang dibisikkan hatinya kepadanya. Kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya sendiri”.
Demikian pula dalam Weda dinyatakan : “Kerajaan Allah ada di dalam dirimu dan kamu adalah rumah – NYA yang hidup”.
Tentang kearifan budaya lokal, Bung Karno sebagai Penggali PANCASILA junga mengingatkan : “Inilah nilai – nilai kesatriaan, nenek moyang kita, sementara kita masih dalam sikon yang mawas diri, ada baiknya kita janganlah terpengaruh dengan kebudayaan asing, yang berbau Eropa, Arab, Amerika, Jepang, India dan Israel. Kendatipun agamanya/ajarannya kita anut. Tetaplah kita harus melestarikan kebudayaan Nenek Moyang. Sebab kebudayaan adalah mencerminkan KEPRIBADIAN SUATU BANGSA. Kita adalah bangsa yang besar, tetapi untuk memelihara sesuatu nilai kebesaran tidak tumbuh seperti jamur, nilai yang BESAR haruslah kita gali, kita perjuangkan sampai menjadi akar dan watak yang hidup dalam diri kita”.
Bagi masyarakat Jogya dan Pemangku Pusat Budaya – Pusat Peradaban yaitu Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat setelah surutnya Ngarso Dalem Ingkang Sinuhun (NDIS) Sri Sultan Hamengku Buwana IX adalah bijak untuk dikaji. Andai saja Beliau tidak mencintai rakyatnya dan tidak konsisten dengan perjuangan bangsa maka NKRI tidak akan pernah ada yang ada mungkin hanya “NFI” Negara Federal Indonesia minus Jogya ?
Pengorbanan, kepeloporan, keluhuran dan kearif – bijaksanaan sebagai pewaris Kerajaan Mataram yang dengan tulus – ihklas, paska genta Naviri Proklamasi Indonesia dikumandangkan ke seluruh dunia pada 17 Agustus 1945, segera pada 19 Agustus 1945 Sri Sultan IX mengirim telegram kepada Presiden & Wakil Presiden Bung Karno & Bung Hatta yang menyatakan bergabung dengan NKRI dan senantiasa tidak saja mengawal namun “hanyalirani” atas dinamika perjalanan Republik tercinta ini. Maka tidaklah berlebihan bila Jogya yang pernah menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia, menjadi Daerah Istimewa karena kesejarahannya dan juga tak ketinggalan karena harta benda dan tahta NDIS. Sri Sultan Hamengku Buwono IX telah dipersembahkan bagi rakyat Indonesia (maka amat tepat autobiografinya diberi judul “Tahta Untuk Rakyat”). Apa lagi ketauladanannya dimana beliau tidaklah silau dengan jabatan sehingga saat daya dan upayanya untuk rakyat dirasa tidak lagi optimal secara politis dan spiritual beliau lebih senang mengundurkan diri dari jabatan “Wakil Presiden” Republik Indonesia pada 1978. Sehingga memungkinkan Ketua MPR Adam Malik menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia.
Sayangnya Keistimewaan DIY agak terabaikan setelah NAD diberikan suatu previlage amat istimewa (dari sisi nama saja sudah menunjukkan negara “Nanggroe” dalam negara belum lagi dengan PIAGAM JAKARTA – nya), dibandingkan provinsi manapun, sehingga bangsa ini tersentak saat NDIS Sri Sultan Hamengku Buwano X, mengumumkan bahwa beliau tidak lagi bersedia dijadikan Gubernur untuk pemilihan pada 2008 nanti.
Kebijakan tersebut semoga merupakan suri tauladan bagi oase leadership Nusantara yang nihil ketauladanan karena semua elit berebut tahta dan jabatan justru Sri Sultan HB X, menggemakan, mengumandangkan tidak mau jadi gubernur lagi. Semoga sikap wise and wisdom beliau mampu mengobati sakitnya bangsa ini dan syukur mampu mengejawantahkan filosofi kain batik supra istimewa (kebesaran) “Parang Rusak” yang diagemnya waktu jumenengan/penobatan sebagai HBX. Karena motif tersebut hanya hak bagi seorang raja atau pembesar. Dimana Parang bermakna hambatan atau kekuatan, maksudnya seorang raja diharapkan dapat mengatasi kekuatan – kekuatan yang merusakkan! ? Karena banyak asumsi para pakar politik yang membacanya ibarat “harus mundur tiga langkah untuk mampu meloncat sembilan langkah”, benarkah ? Dan bukankah itu baik, juga merupakan hak prerogatif Sultan di alam demokrasi ?
Mari kita doakan dan kembali pada waktu jualah yang akan menjawab teka – teki tersebut ?
Lalu seperti apakah kemasan yang akan dihadiahkan oleh Pemerintah Pusat dengan DPR nanti ?
Apakah Keistimewaannya masih ada seiiring dengan Pemangku Pusat Budaya tidak lagi mau jadi Gubernur dan juga maraknya tuntutan demokrasi ?. Ataukah akan ada suksesi baru bagi Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat ?
Nampaknya kearifan para penyelenggara Negara sedang diuji dan waktu yang amat pendek tinggal setahun ini, seyogyanya Pemerintah dan DPR hanya merumuskan untuk “Undang – Undang Sementara Tentang Keistimewaan DIJ”, bukan final karena khomplek dan peliknya Keistimewaan, maka semua harus arif dan bijak sebelum hasilnya ditolak oleh warga Jogya kelaknya. Kita makfum khususnya bagi warga Jogya tentu berharap – harap cemas dan bingung harus berpendapat apa tentang daerahnya ? Sementara gagasan pemimpin nasional Bung Karno dan Bung Hatta, Mr. Sudjono, Sri Sultan Hamengku Buwono IX tentang pendirian kawasan medan mahnit “Bumi Mentaok” sebagai penghargaan DIJ bergabung dengan NKRI, tidak banyak diketahui orang. DPRD di kelima wilayah DIJ maupun DPRD Provinsi DIJ serharusnya tanggap dan menggandeng UGM dan beberapa universitas lainnya serta kaum budayawan, spiritualis, sejarawan dan lain sebagainya untuk membantu merumuskan Keistimewaan DIJ sehingga hasilnya setidaknya akan lebih baik dibandingkan bila dipikir dan dirumuskan sendiriian.
Secara harfiah “SIJUMLUNGA” adalah saat terjadinya gempa bumi di DIJ dan Jateng yakni bertepatan dengan kalender Saka Jawa :1 Jumadilawal ‘39” atau “Siji Jumadilawal Telu Songo”dapat disingkat dengan nama “SIJUMLUNGA”.
Sijumlunga yang berkekuatan 5.9 SR yang terjadi pada jam 0557 koordinat 8,007 0 lS dan 110,286 0BT telah menimbulkan korban sebagaimana diagram berikut :
Kabupaten | Hancur &
rusak berat |
Rusak
sedang/ringan |
Sleman | 21.056 | 73.607 |
Kulon Progo | 3.401 | 18.304 |
Kota Yogyakarta | 6.538 | 27.214 |
Gunung Kidul | 9.325 | 24.183 |
B a n t u l | 119.879 | 110.875 |
K l a t e n | 95.892 | 96.253 |
Sukaharjo | 1.529 | 2.427 |
Magelang | 499 | 729 |
Purworejo | 144 | 760 |
Boyolali | 764 | 2.258 |
Wonogiri | 168 | 309 |
Kebumen | 3 | 1 |
Temanggung | 85 | 68 |
Karang Anyar | 141 | 136 |
Jumlah | 259.334 | 357.124 |
Sementara korban jiwa di DIJ : 5.048 meninggal dunia dan 27.838 luka – luka dan di Jawa Tengah : 1.175 meninggal dunia dan 18.210 luka – luka. Sumber : Balitbang Kompas
C. MAKNA FILOSOFIS SI – JUM – LUNGA & LAPINDO
Nampaknya paska lengsernya Bp. HM. Soeharto dari tampuk singgasana Presiden Republik Indonesia yang telah direngkuhnya selama 32 tahun, bangsa ini keranjingan eforia. Tuntutan reformasi paripurna justru dilaksanakan secara kebablasan dan sesat jalan. Mahasiswa sebagai agen pembaharu dan para tokoh reformis hanyalah mampu mengganti Pimpinan Nasional namun gagal menghadirkan suprastruktur atas perbaikan bagi bangsa dan negara dan justru melahirkan rakyat yang makin menderita yang semakin jauh dari cita – cita Proklamasi. Ada yang menyatakan bahwa ini sebagai tragedi sejarah.
Bayangkan menurut data riset Persatuan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia menunjukkan, 94% penduduk Indonesia saat ini mengalami depresi dari tingkat yang ringan hingga berat. Dampak dari depresi berat ialah ketidak patuhan, apatis, pasrah tanpa usaha, dan tidak berpengharapan atas hidup yang dijalaninya. Hal tersebut dijelaskan oleh Ketua Umum IDI, Fachmi Idris seusai menghadap Presiden Bambang Yudhoyono, Jakarta Rabo (20/6). Kompas, 21 Juni 2007 hal. 13.
Kalau demikian berapa puluh prosen rakyat miskin Indonesia yang sebenarnya ? Maka hendaknya waspada apa jadinya hasil pemilu 2009 nanti bila tidak segera diatasi masalah ini dari sekarang ? Lembaga tertinggi Negara tanpa mandat rakyat telah jumawa merubah UUD 1945 secara fundamental sampai 4 kali, yang tidak termasuk tuntutan reformasi. Naifnya lagi dengan tetap menamakannya UUD 1945. Bukan “UUD 2002” ?
Sebenarnya perubahan sendiri merupakan adi kodrati, karena itu merupakan sunatullah – hukum alam sebagaimana “perfection – perfected” (menyempurnakan yang telah sempurna) apa lagi Bung Karno-pun menyatakan bahwa UUD 1945 sifatnya masih sementara. Yang dipermasalahkan kaum pecinta kebijaksanaan adalah “substansi dan caranya”. Kita sadar bahwa maksud baik dengan cara yang tidak baik (benar) maka hasilnya pasti tidak baik juga! Apa lagi ada udang di balik batu. Maka amat wajar bila banyak kealpaan yang dilakukan oleh para pemegang mandat rakyat, anggota MPR masa bakti 1999 – 2004, mereka saat mengadakan sidang MPR membahas amandemen tidak mendasarkan pada PANCASILA, dan UUD 1945 pasal 29 ayat 1 bahwa : “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Selaku insan religius naifnya saat membuka & menutup persidangan doapun tidaklah dipanjatkannya. Apa lagi berkenan melakukan pendekatan kepada Sang Khaliq dengan cara : shalat hajat, istiqarah, tahanut, tawakur, samadi, meditasi, kontemplasi atau bahkan puasa guna mendapatkan petunjuk, pencerahan, apakah perubahan itu akan membawa kemaslahatan atau justru kemudaratan bagi rakyat – bangsa dan negara ini ?. Kini kita semua merasakan akibat dari itu semua tak terkecuali mantan Ketua MPR Amin Rais sendiri (di berbagai kesempatan wawancara TV seiring kasus DKP yang melibatkan dirinya).
Banyak pihak menilai bahwa amandemen UUD 1945 hanya didasarkan atas “konsensus politik demi sebuah kekuasaan jangka pendek belaka bukan untuk kepentingan rakyat”. Amandemen UUD 1945, yang mereka klaim sebagai maha karya dan sumbangsih terbesar bagi bangsa dan negara, realitanya secara polititis bermakna “bangsa ini hanya secara sah diwakili oleh para elit partai politik semata dengan mengerdilkan fungsi MPR. Pemilihan Pinpinan Eksekutif secara langsung mengadopsi mentah – mentah cara – cara Amerika Serikat. Musyawarah dengan hikmah kebijaksanaan rakyat yang merupakan ciri khas peri kehidupan berbangsa dan bernegara yang Islami ini telah ditanggalkannya. Kita silau dan terpedaya oleh budaya individualisme ala Barat.
Sedangkan Pancasila dan UUD 1945 ini disamping yang tersurat ada yang tersirat dan tersorot. Tidak boleh menafikan adanya suasana batin, inner, isoteris, jiwa dan roh dari UUD 1945 tersebut. Kita serta merta menyalahkan sistem sebagai kambing hitam tanpa mau berkaca dan mawas diri, mulat salira, introspeksi atas kelemahan sikap mental diri kita maupun para penyelenggara negara. Karena sejelek apapun UUD 1945 bila dilakukan oleh orang – orang yang menghayati PANCASILA barang tentu telah tercipta negara hukum dan keadilan sosial yang sebenar – benarnya.
“Kata – kata Taverne yang menyatakan “Berikan kepadaku hakim dan jaksa yang baik, maka undang – undang yang burukpun saya dapat membuat putusan yang baik”. Gerry Spence, advokad senior AS, menyatakan sebagai berikut : “Sebelum menjadi ahli hukum profesional jadilah manusia yang berbudi luhur (evolved person) terlebih dulu, kalau tidak, para ahli hukum hanya akan lebih menjadi monster dari pada malaekat penolong orang susah”. (Sacipto Rahardjo, Kompas 27/05/07 hal.6). Adalah benar adanya, dan identik dengan pendapat Plato.
Bung Karno saat mendeklarasikan lahirnya PANCASILA menyatakan bahwa bangsa (Natie) adalah : “Gerombolan manusia (segenap rakyat) dengan le desire d’etre ensemble (keinginan untuk bersatu) dengan Charaktergemeinschaft (persamaan watak). Tetapi yang berdiam di atas persatuan daerah, yang nyata geopolitis, geografis, nyata bahwa ini adalah satu kesatuan”. Lebih lanjut Bung Karno menytakan bahwa : “Negara Nasional ialah satu negara yang meliputi seluruh daerahnya natie”.
Maka dengan sendirinya langkah dan keputusan mereka, dinilai secara moral – spiritual adalah keliru karena telah menafikan makna dan unsur bangsa yang terdiri dari ratusan suku bangsa, berbagai : agama dan kepercayaan, profesi, organisasi sosial dan keagamaan, budaya dan lembaga adat dan lain – lainnya. Secara sosiologis – antropologis – religius maupun ketata – negaraan tidak lagi menjadi sandaran dan pertimbangan.
Sedangkan nyatanya secara politispun banyak warga bangsa yang memilih GOLPUT. Kaum spiritualis dan para pejuang yang masih hidup banyak yang tidak paham atas dasar dan pertimbangangan apa bangsa ini hanya cukup diwakili oleh elit partai politik dan DPD yang dulu dikenal dengan sebutan “Utusan Daerah” ?. Kemanakah “wakil golongan” itu ?. Dengan pengkerdilan fungsi MPR, otomatis secara sadar maupun tidak bahwa bangsa ini telah mengingkari yang sekaligus mengkhianati PANCASILA. Alat perekat ini kini tinggalah pajangan semata!
Dalam perjalanan sejarah banyak pengamat yang menyatakan bahwa sekalipun bentuk NKRI dan dasar negara serta filosofi bangsa “PANCASILA” telah final, telah pari purna dan mengikat bagi seluruh anak bangsa namun kenyataannya setelah pembusukan PANCASILA maka ruang semakin terbuka bagi anak bangsa yang ingin menjadikan “Negara Islam” (Negara Agama). Karena mereka menganggap Negara Nasional adalah lawan dari idea/gagasan Negara Islam yang mereka cita – citakan
Sebaliknya dikalangan bukan Islam ada yang beranggapan bahwa idea Negara Islam adalah bertentangan dengan adanya Negara Nasional, sehingga cita – cita menuju Negara Islam diartikan sebagai cita – cita hendak menghapus Negara Nasional yang telah disetujui oleh para pendiri bangsa ini. Hal ini timbul karena ego mereka yang kalau saja mau meresapi sedalam – dalamnya dengan nuraninya, tak ada sedikitpun menyimpang dari cita – cita Islam itu sendiri. Karena Negara Republik Indonesia dapat digolongkan sebagai “Negara Theis Demokratis” Negara PANCASILA. Bukan Negara Sekulerisme. Benar adanya bahwa PANCASILA adalah merupakan titik temu antara paham nasionalis dan agama (religius) yang ingin menciptakan “Pro bono publico” (kesejahteraan umum) sebagaimana “Solus populi est suprema lex” (kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi) sebagaimana amanat dan tujuan Sila V itu.
Berbagai pemberontakan dari DI – TII dll. Di zaman Bung Karno dapat ditumpasnya dan kemudian di era Pak Harto muncul GAM, namun akhirnya Pemerintahan reformasi dan para elit penyelenggara negara sendiri, tidaklah konsisten sehingga tuntutan warga Aceh utamanya GAM dengan pemberlakuan syareat Islam mulai diakomodir dengan adanya otonomi khusus apa lagi dengan UU No. 11/2006 yang diimplementasikan dengan qonun telah dengan nyata – nyata NAD tidak lagi mendasarkan pada PANCASILA karena pada hakekatnya telah menempatkan “PIAGAM JAKARTA”, sebagai pijakan berbangsa dan bernegara. Tuntutan GAM benar – benar tercapai, dan otomatis Gubernur dan pimpinan eksekutif hanya boleh dijabat bagi mereka yang beragama Islam. Dan eloknya petinggi SIRA yang sekaligus juru runding GAM, justru yang memenangi Pilkada Tk I NAD. Sungguhpun demikan kita berharap dalam kepemimpinannya tetap mentaati sumpah dan janjinya untuk tetap dalam bingkai NKRI. Karena bila tidak tebusannya sangatlah mahal. Kita doakan semoga darah yang tercecer di bumi Serambi Mekah, sebelum ini, merupakan yang terakhir kali dan tidak akan pernah terjadi lagi setelah keinginannya terpenuhi. Janganlah peristiwa Bosnia dan Balkanisasi terjadi di Serambi Mekah yang kita cintai ini.
Namun fenomena mengganti PANCASILA ini ironisnya justru diikuti oleh puluhan pemda di Nusantara setidaknya di 6 propinsi, 38 kabupaten dan 12 kota dan Depdagri serta Mahkamah Konstitusi seolah membiarkan hal seperti itu berjalan sebagai tuntutan reformasi dan seolah tidak ada yang salah.
Seperti di kabupaten Pandeglang untuk dapat lulus Sekolah Dasar murid (yang beragama Islam) harus lulus (hafal) Juz Amma (Juz ke tigapuluh dalam Kitab Suci Al – Qor’an), demikian juga untuk masuk ke SMP. Memang idealnya tidak saja yang beragama Islam harus paham tentang ajarannya akan tetapi bagaimana menghayatinya yang mestinya outputnya berahklak mulia – berbudi pekerti luhur. Bukankah shalat itu dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar ? Namun karena sekedar ritualitas dan tiadanya kesalehan sosial maka inilah hasilnya. Oleh sebab itu peraturan tersebut dinilai oleh banyak pihak tidaklah arif dan bijaksana karena pada galibnya bukan hafalnya akan tetapi mampukah menghayati “ad – dhien” walaupun hanya beberapa ayat seperti hakekat QS : Al – Kaafiruun ayat 6 : “Lakum diinukum wa liya diin” (untuk kalian agama kalian dan untukku agamaku) dan “La igra hafidiin” (Tidak ada paksaan dalam beragama) QS : Al – Baqarah ayat 256. Barang tentu sudah merupakan cerminan aklaqul kharimah. Tidak sekedar hafal dan agar lulus. Belum lagi di daerah – daerah lain yang banyak dikeluhkan saudara – saudara kita non muslim karena ada yang mensyaratkan calon pegawai Pemerintah Daerah (Pemda) harus dapat membaca huruf Arab/ Al – Qor’an ( yang nota bene beragama Islam). Soal warganya tidak lagi mampu baca tulis huruf dan bahasa daerah serta sejarahnya bodo teing ?.
Andai saja kita merasa sesama mahkluk – NYA yang senasib sepenanggungan dan berkenan tidak melupakan sejarah, Bung Karno mengingatkan : “Alangkah berbahayanya situasi pada waktu itu. Tetapi Allah SWT memberi ilham. Memberi taufik hidayat akan persatuan kita yang kemudian menjelma menjadi satu dasar yang bisa disetujui oleh semuanya, yaitu dasar PANCASILA, yang sampai di dalam tiga UUD RI tidak akan pernah terangkat. UUD RI Yogyakarta, UUD RIS maupun UUDS RI sekarang ini, PANCASILA tetap terpegang teguh. Ini karena PANCASILA sudah menjadi suatu kompromi yang mampu mempersatukan golongan – golongan ini. Maka, oleh karena itu, Saudara – Saudara, insyaf dan sadarlah akan keadaan yang berbahaya di dalam bulan Juli 1945. Janganlah kita mengalami lagi keadaan yang demikian itu.! Jangan pecah persatuan kita dan jikalau aku katakan “pecah persatuan kita” itu berarti pecah, gugur, meledak, musnah Negara kita yang telah kita perjuangkan bersama ini dengan segenap penderitaan dan pengorbanan yang hebat – hebat. Kembalilah kepada persatuan. Aku sama sekali – sebagai tadi kukatakan berulang – ulang – tidak pernah melarang seseorang untuk mempropagandakan idiologiya. Tetapi ingat, accentenleggen kepada persatuan. Jangan diruncing – runcingkan persatuan mutlak , persatuan mutlak, persatuan mutlak. Aku ingat kepada kaum Kristen, Kaum Kristen bukan satu, bukan dua, bukan tiga, bukan seratus, bukan dua ratus, ribuan kaum Kristen mati gugur di dalam pertempuran mempertahankan kemerdekaan ini. Apakah yang menjadi harapan kaum Kristen itu, Saudara – saudara, yang kita pantas juga menghargai pengorbanan mereka ? Harapan mereka ialah bahwa mereka bisa bersama – sama dengan kita semuanya menjadi anggota kesatuan bangsa Indonesia yang merdeka. Jangan pakai istilah minoriteit. Jangan !” ( Kuliah Umum di UI pada 7 Mei 1953 “Negra Nasional dan cita – cita Islam”).
Tentunya sebagai anak bangsa yang diwarisi Negara Proklamasi, kita mau menjaga dan melaksanakan amanat tersebut ? Tidak sebaliknya mencabik – cabiknya hanya demi ego, sektarianisme belaka. Bagaimana stigma haram bagi Mega dan menaikkan dan sekaligus menurunkan Gus Dur sebagai RI I ? Adalah sejarah hitam bangsa ini. Agama dipolitisir hanya demi kekuasaan.
Banyak pihak menyayangkan bahwa di era reformasi/transisional ini, hak warga negara nampaknya haya dibatasi oleh baju agama dan uang semata dan kita lalai bahwa disamping HAM harus diimbangi dengan adanya KAM (Kuwajiban Asasi Manusia) sebagai implementasi dari kata “Yang Adil Dan Beradab)” sebagaimana Sila II Pancasila itu. Mereka bertanya haknya apa sesama mahkluk – NYA, membatasi hak orang lain ? Dan menempatkan diri kita di atas orang lain ? Bukankah itu berarti menghikmati golongan lain? Setelah PANCASILA sebagai alat kekuasaan dengan P4nya, yang memiliki tafsir tunggal yang mengantarkan bangsa ini memiliki persepsi yang salah, kini justru terpedaya dan ramai – ramai berkecenderungan mengganti PANCASILA dengan azas ISLAM atau menjadikan Negara Agama. Yang oleh Gus Dur – pun ditentangnya. Dan andai saja upaya ini berhasil dengan menciptakan Negara Agama (Islam), lalu kita harus menggunakan Islam yang mana ? Karena sepeninggal Nabi Muhammad saw ada mazab Suni dan mazab Syiah ?
Tidakkah kita ingat suatu kenyataan sebagai contoh kecil saja, saat menentukan Shalat Idul Fitri, 1 Syawal 1427 H (1939SJ) tahun lalu, di Indonesia terdapat empat macam penetapan oleh masyarakat Nusantara ? Tidaklah kita harus melihat kondisi negara sahabat yang jauh seperti Pakistan, Irak, Libanon, Iran dll. Karena masih demikian banyak lagi cabang – cabang/aliran yang lain sebagaimana QS : Al – Anbiya ayat 92 – 93 dan juga QS : Al – Mu’minun ayat 52 – 53. Maka Nabi Muhammad saw bersabda : “ Umat Islam akan terpecah – belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka, hanya satu yang benar yaitu yang berpegang teguh kepada Allah dan Rasul NYA”.
Bisa jadi kita lupa bahwa bagsa ini berkali – kali pernah memiliki kerajaan (pemerintahan) yang berdasarkan Islam seperti : Samudera Pasai, Perlac, Bugis, Buton, Demak Bintara, Mataram. Semuanya toh berguguran. Dan tentang gender banyak diantara kerajaan tersebut beberapa periode dipimpin oleh seorang Ratu yang nota bene perempuan, juga di Negara Islam, Pakistan Benazir Butto sebagai PM, adalah perempuan namun apa bedanya dengan Megawati selaku Ketua Umum PDIP pemenang Pemilu 1999 ?, yang diganjal dengan stigma haram, saat memenangkan Pemilu 1999 ? Lalu sudut pandang Islam yang mana yang mampu mengakomodir berbagai paham dan aliran itu ? Dan terbukti hanya paham PANCASILA sajalah yang mampu jadi perekat semua penganut agama dan kepercayaan itu.
Maka pernyataan Syafi’i Maarif mantan Ketua Umum Muhammadiyah pada Konferensi Religi berjudul “Toleransi antara agama : sebuah rahmat bagi semua ciptaan” di Hotel Ritz Callton, Jimbaran Bali 12 Juni 2007 yang menegaskan bahwa :”toleransi berarti menanggalkan segala pakaian, termasuk agama ketika bersama di dalam hidup bernegara atau bermasyarakat”, (Kompas, 13 Juni 2007 hal.10) adalah sangat tepat.
Bila berkenan mengaji dalam Piagam Madinah yang berisi 47 pasal, tak satupun mencantumkan pembentukan negara Islam karena nabi Muhammad saw menghargai adanya pluralisme dimana warga Madinah yang multi kultural yang terdiri dari kaum Muslim pendatang dan asli, Yahudi dan Kristen semua diikat dalam perjanjian untuk hidup secara bersama yang saling hormat – menghormati.
Maka Hartmurt Naseuer, utusan Parlemen Uni Eropa saat berkunjung ke NAD/Indonesia pada 24 November 2006 sangat prihatin dan menyatakan bahwa : “Jikalau hukum agama dijadikan sebagai hukum Negara, maka warga yang tidak menganut agama Islam atau yang tidak beragama terpaksa harus mengikuti hukum tersebut”.
Semestinya perjuangan memerangi kebodohan dan kemiskinan dan menjadikan bangsa ini beradab sebagaimana cita – cita Proklamasi : merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dengan laku hidup “PANCASILA” akan lebih bermanfaat, bermartabat dan mulya di sisi – NYA dari pada sekedar menciptakan “lebel Islam” dalam bermasyarakat dan bernegara. Seperti yang telah dicontohkan oleh founding fathers terutamanya dari tokoh ulama, dami kemerdekaan, demi persatuan dan kesatuan mereka merelakan Sila I dengan kata – kata “dengan menjalankan syareat Islam bagi pemeluk – pemeluknya” sebagaimana rumusan PIAGAM JAKARTA itu dihapus dan Sila I disempurnakan cukup dengan “KETUHANAN YANG MAHA ESA” saja! Maka kaum Nadliyin yang oleh kaum modernis disebutnya sebagai “Islam Kultural” yang tetap mempertahankan tradisi dan budaya sekalipun dicap kelompok lain sebagai bid’ah dan kurafat. Kaidah yang berlaku di masyarakat NU “dengan menjunjung tinggi warisan para leluhur yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik” (Al –muhafadzhah ‘ala al – qadim al – shalih wa al – akhdzubi al – jadid al – ashlah) yang mengakui dasar Negara “PANCASILA” adalah final dan tertutup untuk mendiskusikannya kembali, sebagaimana keputusan munas para alim ulama di Situbondo pada 1983 perlu diberi penghargaan yang setinggi – tingginya dan seyogyanya diikuti oleh organisasi keagamaan lainnya.
Dan untuk memahami PANCASILA Bung Karno menyerukan : “Galilah Api Islam dan untuk memahami PANCASILA kita harus tahu dengan apa yang disebut dengan Meja Statis dan Leitstar Dinamis”!. (lmemang untuk menghayatinya harus dengan laku sufistik tidak hanya cukup dengan menghafal sila – silanya saja).
Sayangnya, alam reformasi ternyata oleh banyak pihak dimaknai lain dengan membenarkan retoolling terhadap apapun yang tidak disukai atau diingini para elit termasuk dasar negara – filosofi bangsa. Bila dulu dalam perjuangan mengusir penjajah ada motto : “Merdeka atau Mati” dan “Sekali Merdeka Tetap Merdeka” kini di era reformasi/transisional berubah menjadi “Ikuti saya atau Mati” dan “Sekali Merdeka – Merdeka Sekali”, apapun serba boleh seperti penjegalan Megawati dan penaikan sekaligus penurunan Gus Dur dari singgasana RI I, juga membakar dan merusak tempat ibadahpun menjadi kejadian biasa gara – gara beda paham dan kepercayaannya itu. Dan polisi dibuatnya gamang dan tidak berdaya menghadapinya. Bagaimana tidak mereka berupaya sekuat tenaga untuk menangkap teroris justru setelah berhasil malah didemo & dihujat oleh pentolan MPR dan DPR juga berbagai pihak namun kalau bom bertebaran polisi dianggap tidur dan tidak becus mengayomi warga. Alasan melanggar HAM dibawa – bawa namun pelanggar KAM dibiarkan. Dan banyak tulisan – tulisan di media cetak di mana mereka merasa heran karena juga banyak warga Indonesia yang beragama Islam yang teraniaya dan akan dihukum gantung di Malaysia, Arab Saudi, Uni Emirat Arab kita diam saja namun bila ada penduduk dari negara Islam yang dizalimi Israel/USA (walaupun yang menjadi korban belum juga tentu beragama Islam) kita demo beramai – ramai menunjukkan solidaritas. Nah mungkin ini cara berfikir yang disebut argumentum a contrario ?
Dari penyimpangan PANCASILA maka makin sempurnalah kerusakan bangsa dan negara ini.
Anarkisme, sektarianisme, hedomisme dan ego merasuki bangsa ini, celakanya apatisme – pun merebak seiring penderitaan rakyat yang tiada terperikan lagi dan nihilnya ketauladanan. Sifat – sifat Tuhan Seru Sekalian Alam tidak nampak terjiwai, terhayati oleh bangsa ini sekalipun kita mengklaim sebagai bangsa yang religius toh fungsi diturunkannya agama untuk mewujudkan tantanan masyarakat yang rahmatan lil alamin agar tercipta sebagai bangsa yang baldatun toyibatun wa rabbhun gafuur, gemah ripah loh jinawi dengan penuh ampunan – NYA, welfare state dan welfare society, jauh panggang dari api.
Begitu banyak contoh tidak saja kerusakan lingkungan akan tetapi juga kerusakan nurani bangsa. Dan pembenahannya tentu tidaklah simple dengan menerapkan syareat Islam saja, semua pasti beres ? Dekatomi nasional dengan agama tidaklah arif untuk diperdebatkan lagi demikian pula alasan sekularisme. Karena bangsa dan negara ini berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 29 ayat 1).
Pernyataan tersebut sama sekali tidak bertentangan dengan agama apapun, maka (maaf bila diperbolehkan) ibarat Ketuhanan Yang Maha Esa adalah samudera raya dan agama adalah sungai – sungainya. Tepatkah kita mengganti samudera dengan sungai ?
PANCASILA adalah merupakan sumbangsih terbesar bangsa ini terhadap dunia di bidang spiritual, sementara bangsa Barat sumbang sih terbesarnya bagi dunia adalah di bidang “tehnologi”. Dan itu telah diakui dunia, tapi mengapa justru kita campakan sendiri ? Cuovadis bangsaku !
Sebagai Negara Theis – demokrasi, sebagai Negara Pancasila dapat dibuktikan dengan UUD 1945, sebagaimana berikut ini :
SIFAT TUHAN DALAM UUD 1945
Guna dapat mengenal TUHAN maka kita harus tahu tentang Dzat, Sifat, Nama dan af’al – NYA.
Buku “Tauhid Rububuyah Tauhid Ubudiyah” sebagai ceramah pengajian rutin oleh K M. Muchtar bin Alhaj Abdul Mu’thi, Ploso Jombang disebutkan sebagai – berikut :
- Alloh Bersifat Maha Esa. Arabnya “Ahadun atau Wahid” Ref dalam Preambule UUD 1945 alinia IV. Dan dalam batang tubuh UUD 1945 Bab XI pasal 29 ayat 1.
- Alloh Bersifat Maha Kuasa. Maha Kuasa Bahasa Arabnya “Qodrat”. Ref. Preambule UUD 1945 alinia III yang berbunyi “Atas berkat rakhmad Alloh Yang Maha Kuasa”.
- Alloh Bersifat Maha Luhur . Maha Kuhur Bahaa Arabnya “Al’aliyyu”. Ref. Sifat Tuhan ini di dalam Preambule tidak tertulis akan tetapi disimbulkan pada lambang “Bintang” pada Burung Garuda Pancasila. Bintang itu tunggi di Langit, maka dijadikan simbul Ketuhanan Yang Maha Esa dan sebenarnya bintang itu identik dengan “Nur Cahyo”. Bintang itu dimaknai dengan “Alhaaadi” yang memberi petunjuk. Bukankah bintang sebagai petunjuk arah dalam ilmu falak dan menjangka peta. Bintang inipun bersudutkan lima bukan enam yang maknanya melambangkan adanya sila I sampai V. Dalam Al – Qor’an disebutkan dengan “Wabinnajmi hummubtaduun”.
AF’AL TUHAN DALAM UUD 1945
Alinia ke tiga Preambule UUD 1945 menyatakan “Atas Berkat – Rakhmad”
- Maha Berkat (Af’alnya yang pertama).
- Maha Rakhmad (Af’alnya yang ke dua). Rahmat itu termasuk dari Sifat Rahman – Rahimnya Allah.
NAMA DZAT TUHAN YANG MAHA ESA DALAM UUD 1945
Adapun Nama Dzatnya Tuhan Yang Maha Esa di dalam UUD 1945 adalah “Alloh”. Yang disebut dua kali yaitu dalam Preambule UUD 1945 alinia ke tiga yang bunyinya : “Atas berkat rahmat Allah” dan dalam batang tubuh UUD 1945 judul “Sumpah Presiden”, bunyinya “Demi Alloh”. Jadi nama Dzatnya adalah Alloh dan :
- Alloh itulah yang mempunyai kedudukan sebagai Tuhan.
- Alloh itulah yang disebut Maha Esa.
- Alloh itulah yang disebut Maha Berkah.
- Alloh itulah yang disebut Maha Rahman.
Disamping itu dalam Preambule dan Batang Tubuh UUD 1945 kita akan dapat menegetahui bahwa :
- Tidak ada yang disebut Tuhan selain Alloh.
- Tidak ada yang disebut Maha Esa selain Alloh.
- Tidak ada yang disebut Maha Rokhmat selain Alloh.
- Tidak ada yang disebut Maha Barokah selain Alloh.
- Tidak ada yang disebut Maha Kuasa selain Alloh.
- Tidak ada yang disebut Maha Petunjuk selain Alloh.
- Tidak ada yang disebut Maha Luhur selain Alloh.
Apakah yang demikian itu tidaklah Islami ? Apakah yang demikian itu termasuk sekuler ? Bila Bung Karno mempropagandakan agar PANCASILA dijadikan dasar bagi PBB sebagaimana pidatonya berjudul “To Build The World Anew” (Membangun Dunia Baru) di hadapan Sidang Umum PBB pada 30 September 1960 yang harinya Jumat Wage dan anehnya sama pula pada hari kelahirannya pada 1 Juni 1945. Tetapi mengapa kini kita justru ingin merubahnya ? Bahkan juga muncul fatwa pengharaman adanya pluralisme dari MUI ?
Pada peringatan 17 Agustus 1956 Bung Karno mengingatkan, bahwa : “……, kebebasan tidak berarti kenetralan. Kita tidak netral dalam menghadapi baik dan buruk, … Kita tidak netral dalam menghadapi pilihan idiologi. Kita pasti memihak kepada ajaran Pancasila. Adakah suatu politik yang dipimpin oleh kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang menjunjung tinggi rasa perikemanusiaan, yang menghormati rasa kebangsaan, yang mempraktekkan kedaulatan rakyat, yang melaksanakan cita – cita keadilan sosial. Adalah politik yang demikian itu suatu politik yang tak mempunyai moral ? Jika orang belum dapat menilai moral yang setinggi itu, maka sungguh kita tidak mengerti apa yang dinamakan moral !
Oleh sebab itulah Si – Jumbuhing Kawula lan GUSTI, jumbuhing kawula dengan Rajanya (rakyat dengan Presidennya), jumbuhing lahir kalawan batin, jumbuhing Pranatan dengan perbuatan, Makrokosmos dengan mikrokosmos, warangka manjing curiga – curiga manjing warangka, in sensu stricto maupun in sensu abstracto, semua itu telah lunga (pergi – raib) dari ranah kehidupan warga bangsa sehari – hari. Antara pemimpin dengan yang dipimpinnya juga antar pemimpin tidak pernah sinkron.Masing – masing memiliki keinginannya sendiri – sendiri. Nampaknya itulah suatu fakta dan pesan yang hendaknya kita sadari bersama. Mengapa ? karena adanya krisis katauladanan dan kebangsaan serta kebudyaan maupun nurani. Bangsa adalah satu jiwa, namun yang tercipta barulah bangsawan harta, bangsawan ilmu dan bangsawan keturunan.Kita masih langka memiliki bangsawan karakter karena nation and character building sejak Orde Baru gagal diciptakannya sebab proyek P4 justru menjadi bumerang dengan menafikan kejujuran dan menonjolkan sisi asesories yang mendegradasi nilai Pancasila itu sendiri dengan mempraktekkan sistem pemerintahan yang totaliter militeristik, sehingga ruang demokrasi terabaikan. Apalagi adanya sahwat kekuasaan dengan menghalalkan segala cara dengan semboyan “single moyority”nya. Jalur ABG sebagai jerat gurita yang ekses negatifnya luar biasa seperti adanya kehilangan generasi (lost generation). Nation and character building terjerembab pada titik nadir karena bagi pemilih pemula yang duduk di bangku SLTA baik negeri maupun swasta saat Pemilu hanya tinggal pilih dan nusuk tanda gambar “GOLKAR” dijamin naik kelas atau lulus ujian. Naifnya bagi mereka yang membandel jangan harap pasti ketahuan dan mereka akan menjadi korban. Perjungan dan jasa para pendidik sejak TK hingga menjelang Pemilu raib karena menghadirkan sikap mental siswa menempuh “jalan pintas” apa lagi itu terbentuk karena sistem politik yang dikembangkan sendiri oleh rezim Pemerintah Orde Baru. KKN tumbuh subur bagai cendawan di musim hujan.
Mengapa harus belajar tekun bila begitu mudah dapat selembar ijazah ? Bahkan ijazah kesarjanaanpun dapat diperjual belikan. Titel dijadikan berhala. Dengan titel memudahkan seseorang untuk menggapai cita – citanya apakah sebagai elit parpol atau elit penyelenggara nergara ? Nah kalau outputnya kini menjadi para pemimpin ? itulah panen raya sehingga bangsa ini tidak ada lagi ketauladanan dan leadership yang marak adalah dealership ? Tata nilai mampu dijungkir balikkannya. Siapa yang patut dipersalahkan ? Dan jurus apa yang dapat mengembalikan bangsa dan negara ini menjadi bangsa & Negara yang bermartabat serta sejajar dengan negara – negara maju lainnya ? Betapa kita ini malu sebagai bangsa paria – bangsa babu sehingga negara Jiran Malaysia – dan Singapurapun memandang sebelah mata kepada bangsa ini. Kita lupa bahwa ke dua negara ini dulu saat kerajaan Majapahit berjaya merupakan wilayahnya, juga sebagaimana amanat Proklamasi adalah juga merupakan teritorrial Negara Republik Indonesia. Kini berbalik pulau kita dicaplok Malaysia dan wilayah teritorrial Singapura kian tahun kian bertambah luas naifnya menggunakan sumber daya alam kita. Apalagi dengan adanya DCA (Defence Cooperation Agreement) yang disinyalir merugikan negara kita. Diobok – obok! Kita cukup dapat konpensasi selesai. Kita lupa ekses penjualan bekas Satelit Palapa juga Indosat, yang semua rahasia dengan mudah dapat diakses oleh mereka.
Dua hari setelah peristiwa “Sijumlunga” semburan lumpur panas “Lapindo” di Porong, Sidoarjo juga memporak perandakan tatanan sosial – ekonomi – kemasyarakatan bagi warga setempat. Yang juga telah merenggut 15 jiwa manusia.
Betapa pahit, sengsara dan derita tak terperikan karena harta benda ludes, sumber penghasilan tiada lagi, ikatan sosial kemasyarakatan terkubur. Hidup dalam pengungsian bahkan tak jarang yang hanya beratap langit dan berselimut mega dan yang dimakanpun nasi yang telah basi. Lalu siapa yang peduli ?
PT. Lapindo Brantas dan Pemerintah masih saja tarik ulur. Tuntutan nurani tiada lagi mampu membangkitkan emphati para elit penyelenggara negara bahkan ironisnya mahasiswa yang paling getol melakukan demontrasipun belum pernah mereka suarakan atas nama wong cilik – kawula alit – rakyat yang terpinggirkannya. Kepekaan dan kepeloporannya sudahkah tergadaikan ? Sungguh quovadis Mahasiswaku !
PANCASILA, budi pekerti luhur tak lagi terjiwai oleh anak bagsanya. Kita terpedaya kepada kultur – budaya – gaya hidup asing atau boleh jadi tanpa disadari kita mengikuti schenario imperialis asing sehingga bangsa dan negara ini mudah dikendalikannya guna diekploitir sesuka hatinya.
Paska Bung Karno hampir tidak ada lagi anak bangsa ini yang menjiwai untuk melenyapkan adanya “exploitation d’lhomme par’ lhomme dan exploitation nation par nation” (penghisapan manusia oleh manusia dan penghisapan bangsa oleh bangsa).
D. MAKNA FILOSOFIS LAPINDO
Akibat semburan lumpur yang diperkirakan mencapai 150.000 M3 per harinya yang terus berlanjut ini telah membawa dampak yang maha dahsyat bagi masyarakat desa Siring, Reno Kenongo, Ketapang, Tanggul Angin, Mindi dan Jatirejo, Kecamatan Porong, Sidoarjo. Ekosistem dan tatanan sosial kemasyarakatan serta aktivitas perekonomian lumpuh total. Warga yang mengungsi lebih dari 8.200 jiwa. Rumah dan tempat tinggal yang rusak sebanyak 1.683 unit. Areal pertanian dan perkebunan rusak hingga lebih dari 200 HA, termasuk lebih dari 15 pabrik yang tergenang berhenti beroperasi. Pabrik – pabrik tersebut terpaksa memberhentikan lebih dari 1.873 karyawannya. Dan nampaknya 30 tahun kemudian bila lumpur ini tiada mau berhenti maka akan terjadi peristiwa alam yang luar biasa dahsyatnya. Lalu hikmah apa dibalik ini semua ?Kiranya lumpur “LAPIN – DO” memiliki makna filosofis yang artinya “ Laku – lampah bangsa Indonesia ini penuh dengan lumpur dosa”. Benarkah ?
Dosa kolektif bangsa ini bisa jadi dimulai sejak saat bangsa ini tidak lagi mau menghargai pahlawannya, salah satunya seperti nasib Bung Karno yang memerdekakan bangsa ini, jasa – jasanya dilupakan bahkan upaya Desoekarnoisasi dengan TAP MPRS No. XXXIII/69 yang hingga kini abadi tidak dicabut. Bung Karno berkali – kali dibunuh namun berkat Perlindungan – NYA, semuanya gagal. Dan semua yang berbau Bung Karno harus dihilangkan termasuk orang – orang Soekarnois. Fitnah ditebarkannya dengan memberikannya stigma “diktator, haus kekuasaan, don juan, kolaborator, tersangkut G30SPKI dan cara – cara keji lainnya termasuk managemen konflik untuk membentuk opini publik. Brainwashing sukses gemilang !
- Seperti terungkap pada buku “Soekarno Penyambung Lidah Rakyat” terjemahan dari buku “Soekarno Authobiografy as Told to Cyndi Adams”, yang diterjemahkan oleh Mayor Abdul Bar Salim atas restu menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen Soeharto pada 1966. Pada 2006 diskusi yang diselenggarakan oleh Yayasan Soekarno, di Gedung Pola. Prof Syamsul Maarif, mantan Ketua Umum Muhammadiyah sangat gusar karena menilai Bung Karno sangat melecehkan Bung Hatta. Maka atas saran Asri Marvan Adam (Pengurus Pusat Masyarakat Sejarawan Indonesia) sebelum dicetak ulang seyogyanya diselediki kebenarannya dulu. Dan ternyata hasil temuan tim yang dibentuk menemukan bahwa disamping ada kesalahan dalam menterjemahkan pada halaman 341 terdapat sisipan dua alinia yang intinya bahwa “Soekarno tidak memerlukan Hatta dan Syahrir bahkan peranan Hatta dalam sejarah tidak ada”, yang naskah aslinya tidak ada sama sekali. Lalu siapa yang merekayasa? (Kompas, 6 Juni 2007, hal 6).
- Jauh sebelum itu dihembuskan adanya isu Dwitanggal antara Bung Karno dengan Bung Hatta, setelah Bung Hatta secara resmi mengundurkan diri dari jabatan Wapres pada 1 Desember 1955. Sedangkan nyatanya sekalipun Bung Hatta tidak lagi menjadi Wapres, toh komitmen sebagai wakil bangsa Dwitunggal tetap abadi. Hal tersebut dapat dibuktikan adanya “Ikrar Dwitunggal Proklamator Soekarno – Hatta” yang intinya berkewajiban mutlak untuk membina dan membela Republik Proklamasi dalam keadaan apapun juga adanya. Ikrar tersebut ditandatangani dalam Munas , 14 September 1957 yang diadakan di Jl. Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta Pusat.
- Fakta lainnya adalah adanya rencana Pembangunan Proyek Mausoleum Proklamator Soekarno – Hatta, yang Ketua Panityanya adalah Bung Hatta sendiri, sedangkan Ketua Harian/Pemrakarsa RM. Sawito, Sekretaris Panitya GPH. Djatikoesoemo, Arsitek Prof. Soeratmoko dll. Rancang bangun dengan luas areal 2.800 Ha, masjid dengan tinggi menara 117 meter, dimana mausoleum akan dibangun di tengah kebon bunga dan buah – buahan yang dinamakan “Tman Firdaus” temasuk dilengkapi landasan pesawat terbang. Karena alas an politis gagal dibangun, tetapi memacu Penguasa Orde baru segera membangun makam Bung Karno di Blitar.
- Referensi lainnya dikupas tersendiri dengan judul “Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan,upaya Desoekarnoisiasi ”.
Itulah keluhuran budi pekerti kedua pemimpin besar kita, sekalipun sering terdapat perbedaan prinsip toh komitmen dan tali silaturahim senantiasa terpelihara. Bahkan sebelum Bung Hatta berpulangpun beliau memberikan “Surat Wasiat” kepada Guntur. Katauladanan itulah yang hendaknya kita teladani, kita tiru. Sangat musykil – mustahil – tak mungkin bagi Bung Karno mengagungkan sektarianisme. Sekalipun beliau orang Jawa selama menjadi Presiden beliau tidak mau memakai surjan dan blangkon/beskap atau pakaian simbul kedaerahan, karena ingin memberikan ketauladanan sebagai seorang Presiden, seorang nasionalis, Bapak Bangsa. Beliau menganjurkan lain bagi para Pimpinan Daerah yang harus senantiasa memelihara budayanya.
Namun sayangnya bahkan di era reformasipun hakekat Desoekarnoisasi tidaklah berubah dimana putrinya Ibu Megawati sekalipun secara demokratis memenangkan Pemilu 1999, tidaklah berhak menjadi R.I. I. Demokrasi buta dengan angka 50% plus 1 (mana mungkin 48 contestan Pemilu ?) maka Stigma harampun ditebarnya dan anehnya hanya selang beberapa saat stigma tersebut raib seiring pelengseran Gus Dur sebgai Presiden R. I. Kita bisa menilai bagaimana kadar laku hidup PANCASILA,karena agama saja dipulitisir dijadikan suatu alat pemenuhan ambisi pribadi atau golongan. Itukah yang akan kita tegakkan bersama ?
Menurut Bung Karno : “Demokrasi yang kita maksudkan bukanlah graad meter (ukuran) dari pada waarheid (kebenaran). Demokrasi kita (Pancasila) bukan sekedar de hellt plus en heefs (separuh plus satu musti benar). Demokrasi kita adalah musyawarah. Bahwa kita tidak menghendaki otokrasi, bahwa kita tidak menghendaki teokrasi. Ingin saya ulangi Islam tidak mengenal teokrasi. Tidak menghendaki suatu golongan menghikmati, menguasai golongan lain. Di dalam istilah itulah kita kita memakai perkataan demokrasi. Bukan de helft en heft plus en is altijd gelijk (separuh tambah satu pasti menang), bukan de helft en geft plus en is altijd menang. Tidak – tidak ! Islam memerintahkan musyawarah . Musyawarah di dalam alam kebijaksanaan”.
Yang kedua adanya TAP MPR No.II/1978 tentang “Eka Prasetya Panca Karsa” (P4) yang memiliki tafsir tunggal dan yang tidak setuju diberikan stigma “PKI”, sedangkan secara spiritual dengan menggunakan kata “Penataran” bangsa ini terjerembab menjadi bangsa yang takabur sekaligus kufur karena menatar atas Ketuhanan Yang Maha Esa! (Sila I) manusia yang dhoif, lemah sangat terbatas (jumawa berani) menatar atas Dzat Yang Tanpa Batas. Andai saja menggunakan kata lain bukan penataran mungkin tidak memiliki ekses negatif. Sungguhpun demikian tidaklah tepat setelah TAP No. II/1978 dicabut elit penyelenggara negara tidak peduli lagi untuk mencari formula pengganti P4.
Mengapa Bung Karno selama hayatnya dimusihi dan ingin dihabisi nyawanya serta difitnah ? Mungkinkah ada seorang diri pemimpin mengcoup d’taat dirinya sendiri ? Mengapa pula Bung Karno tidak ada rasa gentar sedikitpun menghadapi kedigdayaan negeri super power Amerika Serikat dan Negeri Imperialis lainnya ? Mengapa Bung Karno senantiasa menyebutkan dirinya hanya sebagai “Penyambung Lidah Rakyat” ? Apa kaitannya dengan “Fox Populy Fox Dei” ?. Mengapa Bung Karno yakin betul bahwa Pancasila bila dijadikan dasar dan pengganti Piagam PBB akan menjadikan PBB sebagai Badan Supra Bangsa – Bangsa ? Mengapa Monas didirikan dan apa hubungannya dengan Tugu Pancoran (Anoman) dengan Semanggi dan gedung wakil rakyat ?
Mengapa hanya NKRI ini satu – satunya negeri dikolong langit yang berani keluar dari PBB ? Ini seyogyanya yang harus dikaji bukan kelemahannya karena tidak ada seorangpun yang sempurna. Dan amatlah tidak bermoral bila kita menafikan jasa – jasa besarnya yang hidupnya semata – mata diabdikan bagi seluruh rakyat yang beliau cintainya. Bahkan sampai akhir hayatpun Bung Karno masih berstatus orang penjara ! Ini bukanlah kultus dan Soekarnois buta melainkan mewakili nurani – qalbu yang menggugat ! Kebenaran dapat disalahkan namun kebenaran tetap tidak dapat dikalahkan. Kita merasa haru melihat penuturan Alm. Jend. M. Yusuf di layar kaca yang berlinang air mata saat ditanya tentang nasib dokumen Supersemar. Secara explisit tentu mengandung banyak teka – teki.
Maka ibarat seratus buku seperti “Soekarno’s File” karangan seorang Profesor Belanda bernama Antonie C. A. Dake, yang mendiskreditkan Bung Karno tidak akan banyak pengaruhnya. Karena masih berlaku pameo “Becik ketitik, ala ketara”.Karena ketauladanan Soekarno telah teruji oleh waktu dan sejarah.
Akibat penyelewengan Pancasila yang dijadikan alat kekuasaan, lip service belaka menjadikan bangsa ini senantiasa berkecenderungan berlaku jahat seperti membuat retak, konflik yang berdarah – darah, tindakan anarkisme, egoisme dan KKN serta jalan pintas, merupakan indikasi hilangnya budi pekerti luhur bangsa (Sijumlunga) seiring mendangkalnya nilai – nilai spiritual sebagaimana telah diwariskan oleh para leluhur yang pada akhirnya begitu lemahnya komitmen bangsa ini untuk “menjadikan Pancasila sebagai nurani bangsa”.
Maka lengkaplah sudah kehancuran bangsa ini dan manakala kita masih saja ternina bobokan oleh ego, rasa superioritas, sektarianisme, apatisme, individualisme, hedonisme, pragmatisme, silau terhadap budaya asing, dan larut dalam globalisasi tanpa ada kemauan untuk mengutamakan dan memproteksi nasib rakyatnya sendiri, maka NKRI ini akan hilang tertelan jaman mengikuti negara Sriwijaya – Majapahit .
Dan fenomena itu sangatlah nampak dan terus berproses yang sangat mengkhawatirkan kita bersama maka bagaimana para elit penyelenggara negara ini berkenan untuk bersatu padu, bahu membahu untuk menjadikan filosofi “tiang beton” tidak lagi “sapu lidi” karena eranya makin menyeramkannya. Yang menjadi unsur batu jangan ingin menjadi besi, yang besi jangan ingin menjadi semen dan seterusnya.
Dari berbagai unsur tersebut yang sebelumnya tidak berdaya guna setelah diaduk dengan rata dan dengan ukuran yang tepat guna, dan dicor maka akan menjadi tiang beton yang mampu menyangga ratusan ton beratnya. Maka DPR – DPD – Presiden dll. seyogyanya mampu melaksanakan filosofi tersebut jangan hanyut pada ego kelembagaan yang justru akan meruntuhkan bangunan yang telah dibangun bersama.
E. PERINGATAN SI – JUM – LUNGA & LAPINDO
Sijumlunga yang telah berlangsung setahun ini ternyata disamping diperingati oleh Pemerintah, nampaknya Alampun mengadakan “Peringatan Ulangan” yang merupakan pesan spiritual yang tidak kalah pentingnya. Karena menjelang peringatan setahun kalender Masehi 10 hari sebelumnya pas setahunnya dengan hitungan kelender Saka Jawa (Kalender Mataram/Kalender Nasional) ternyata terjadi tsunami, gelombang pasang di DIY dan keesokan harinya merata dari Aceh sampai Nusa Tenggara Barat. Dan konon gelombang tertinggi sampai 15M terjadi di pantai Selatan Jogya. Ada apa lagi ?
Berbagai teori merebak dari pemanasan global, swell (gelombang besar yang melemah), gelombang Kevin, penumpukan angin, satu garis lurus antara bumi – bulan dan matahari serta gravitasi bulan bahkan ada yang menyimpulkan adanya gabungan dari berbagai teori. Dalam analisis Inter Governmental Pannel on Climate (IPCC) meramalkan pada tahun 2030, akan terjadi kenaikan permukaan air laut setinggi 28CM dibandingkan permukaan saat ini dan pada 2066 air laut akan naik 3 M. Bisa dibayangkan bila dengan adanya peristiwa tsunami di NAD telah menenggelamkan 3 pulau yakni Pulau Gosong Sinjai, Pulau Karang Lenon Kecil dan Karang Lenon Besar di kawasan kabupaten Singkil. Dan sejak tahun 2005 jumlah pulau yang hilang seluruhnya telah mencapai 24 pulau disamping akibat tsunami juga karena penambangan liar dan abrasi. Belum lagi hilang karena alasan politis & keteledoran seperti Timor – Timur, Sipadan dan Ligitan. Pemanasan global terjadi akibat efek gas – gas rumah kaca utamanya karbon dioksida di atmosfir bumi. Hal ini menyebabkan naiknya suhu bumi dan mengakibatkan perubahan iklim. Apa yang akan terjadi nanti ? Tenggelamkah Nusantara ini ? Tentu tergantung pada sikap mental bangsa ini, masa bodohkah ? atau ada upaya bersama memakmurkan bumi dan seisinya ? Atau justru aji mumpung ?Hanya Tuhan Seru Sekalianlah Yang Tahu.
Keadaan carut marut di Nusantara ini secara mitologi sebenarnya telah termuat dalam berbagai jangka baik Jangka Jayabaya, Jangka Sabdo Palon Noyo Genggong maupun dalam kitab Weda Nata Piningit serta Weda Tama Piningit dan lain sebagainya. Adanya mitos “Natanagara” (leadership Nusantara) ternyata banyak pula dikaitkan dengan Satria Nusantara diantaranya disebutkan bahwa sosok :
- Presiden I, Ir. Dr. Soekarno, disebut sebagai “Satria Kinunjara Murwa Kuncara”.
- Presiden II, HM. Soeharto, disebut sebagai “Satria Mukti Wibawa Kesampar – Kesandung”.
- Presiden III, Prof. Dr. Ir. BJ. Habibie, disebut sebagai “Satria Jinumput Sumela Atur” (yang merupakan Pemimpin sinela, seselan, antara).
- Presiden IV, KH. Dr. Abdulrrahman Wahid (Gus Dur), disebut sebagai “Satria Piningit Hmung Tuwuh” (Masih sinela).
- Presiden V, Ibu Megawati Soekarnoputri, disebut sebagai ‘Satria Lelana Tapa Ngrame” (masih seselan).
- Presiden VI, Susilo Bambang Yudhoyono, disebut sebagi “Satria Boyong Pambukaning Gapura”.
- Presiden y.a.d. “Satria Pinandhita Sinisihan Wahyu”. ?
Memang dalam Jangka Jayabaya dinyatakan Presiden III, IV dan V, tersebut hanyalah seselan (pengantara) saja. Dan banyak pihak setelah Presiden VI, jatuh “GARA” dimaknai dengan “Gara – Gara”, terutama oleh Permadi SH yang duduk di komisi 1 DPR RI. ? Hanya waktulah yang dapat membuktikan.
Dalam literatur Hindu memang saat ini sedang dalam zaman Kali Yuga yakni zaman kegelapan atau zaman besi., atau Kala Bendu.
Tentang fenomena alam., kita seyogyanya tidaklah harus merasa takut, bukankah dalam awal tulisan ini TUHAN Berkehendak “agar kita kembali kepada – NYA” ? Yang terpenting bagaimana kita harus menyikapi semua ini ?. Salah satu watak dan ciri bangsa ini antara lain memiliki pedoman : “Memayu hayuning (barjaning) bawana” . Inilah mestinya yang harus dihidup – hidupkan kembali. Bagaimana kita harus menempatkan bumi – ibu pertiwi yang menyusui seluruh mahkluk hidup sehingga masyarakat Jawa memberikan penghormatan dengan menyebutnya “Ibu Bumi” (Ibu Pertiwi) dan Langit atau Angkasa sebagai “Bapa Kuasa” (Bapa Angkasa) atau keduanya menjadi simbol “tanah air” yang dilambangkan pula dengan bendera “Merah Putih” yang juga merupakan simbul persatuan embrio antara benih dari Sang Bapak dengan Sang Ibu (darah putih dengan darah merah). Juga di dalam diri setiap manusia dikarunia darah merah dan darah putih. Dan Merah Putihpun kini telah diketemukan berbentuk padi yang sedang dikembang biakkan di Prambanan, Yogyakarta.
Bumi dan Langit adalah sama – sama mahkluk Tuhan Seru Sekalian Alam, maka sepantasnyalah kita hormati tidak diperlakukan semena – mena tanpa adab. Bumi adalah yang mencukupi seluruh kebutuhan hidup kita dari pangan, sandang dan papan. Bumi yang kita kencingi – kita kotori dan kita jadikan peristirahatan terakhir, akan tetapi sadar atau tidak kita melupakan jasanya. Sedangkan Angkasa yang memberi kita hidup karena merupakan sumber O2, Oksigen yang kita hirup tiap detik. Maka tidak ada seorangpun yang bisa hidup dengan tanpa bernafas/menghirup udara selama satu jam saja. Maka tidaklah berlebihan leluhur menamakannya “Bapa Kuasa” (bukan Bapa Maha Kuasa). Itulah cerminan budi pekerti luhur dari kearifan budaya lokal sedangkan bangsa Barat hanya mengenal adanya “Father land” saja.
Jadi Lambang warna Bendera Merah Putih yang sejak Kerajaan Majapahit dengan “GULA KLAPANYA” merupakan lambang kehidupan itu sendiri. Dari sumber hidup dan yang menghidupi (tanah dan air), Unsur terciptanya/terjadinya umat manusia (sel darah merah dan darah putih dari biyung (ibu) dan bapa (ayah), padi yang dimakanpun ada yang merah ada yang putih bahkan kini dalam satu butiran padi dengan kedua warna tersebut, juga dalam diri manusia sendiri terdapat darah merah dan darah putih (Laukosit) serta dalam akhir hayatpun ada yang dikafani (kain putih) dan ada yang dikremasi – dibakar (merah).
Sedang unsur terjadinya manusia secara keseluruhan – integralistik disamping warna merah dan putih juga adanya unsur kuning dan hitam yang akhirnya menjadi hijau atau pancawarna. Yang kemudian dikenal adanya keblat empat lima pancer itu. Bila dijabarkan menjadi demikian khomplek karena disamping arah mata angin, penuh dengan lambang – lambang.
Maka barang siapa menafikannya tentulah secara spiritual termasuk orang yang tak beradab – mengingkari asal – usul dirinya. Maka ajaran kearifan budaya lokal tentang “Sangkan Paraning Dumadi” yang diimplementasikan ke dalam dua kunci yakni “ELING” dan “Waspada”, adalah suatu jalan untuk selalu merasa terhadiri oleh Kemaha Kuasaan Tuhan Seru Sekalian Alam. Dan doa orang – orang Jawa tempo dulu cukup singkat dengan kata “Permohonannya semua BERES” (every thing ‘ done properly).
F. HIKMAH SI – JUM – LUNGA & LAPINDO SERTA BERBAGAI BENCANA ALAM MAUPUN NON ALAM UNTUK TEGAKNYA NEGARA PROKLAMASI.
Bangsa ini hendaknya bersyukur atas karunia Tuhan Seru Sekalian dengan di anugerahi – NYA : Semangat dan jiwa pergerakan bangsa sejak Budi Utomo, Sumpah Pemuda, PANCASILA , Negara Proklamasi dan UUD 1945 serta Dekkrit Presiden 5 Juli 1959”. Karena hanya Indonesialah satu – satunya Negara yang merupakan “The right Self of determination” dan satu – satunya Negara di dunia yang mendasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa dengan PANCASILANYA.
Karena sehebat – hebatnya Jawaharlal Nehru, dia menjadi PM India berkat pemerintahan Inggris, betapa hebatnya Lee Kwan Yew, yang menjadikannya PM Singapura, adalah Inggris. Sungguhpun betapa jeleknya kita, bangsa Indonesia sendiri yang memilih Bung Karno – Bung Hatta sebagai Presiden R. I. Bukan diangkat oleh Ratu Wilhelmina atau oleh siapapun.
Tidakkah kita sadar bahwa Negara Proklamasi itu telah menjadi ketetapan Tuhan Yang Maha Esa ? Marilah kita renungkan bersama dengan hati jernih, niat suci dan menerima dengan ihklas semua karunia – NYA itu. Sungguhpun demikian sah – sah saja bagi yang berpendapat itu hasil orang kurang pekerjaan dan digothak – gathukake mathuk (dihubung – hubungkan nyambung) dan hanyalah secara kebetulan belaka. Namun inilah faktanya :
- Secara geografis NKRI terletak pada 60 LU – 110 LS dan 960 BT – 1410 BT. Secara numorologis itu menyiratkan angka Proklamasi! 6 + 11 = 17. 141 – 96 = 45 dan 45 adalah 1/8 keliling bumi. Maka telah menyiratkan angka : 17. 8. 45.
- Lebih jauh angka – angka tersebut, bila diolah akan mengandung pesan adanya berbagai kunci yakni : 17.8.1945 = 1 dan 1945 = juga 1. maka :
1. {[17 X 8 X 1} + [ 17 + 8 + 1]} = 162 ref. QS : Al – An aam ayat 162 yang menyatakan : “Sesungguhnya shalatku, amal ibadahku, hidup dan matiku untuk Tuhan Seru Sekalian Alam” (Kunci Penghambaan).
2. {17 X 8 X 1} = 136 ref. QS : Al – Baqarah ayat 136 : “Kami hanya beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Iskhak, Yakub dan anak cucunya. Begitu pula kepada apa yang diturunkan kepada Musa, Isa dan kepada apa yang diturunkan kepada seluruh para nabi dari TUHANnya. Tidak kami beda – bedakan yang satu dengan yang lain antara mereka. Dan kami hanya berserah diri kepada – NYA”. (Kunci kerukunan antar umat Berketuhanan).
Maka amatlah tepat amanat Bung Karno saat mendeklarasikan Pancasila, 1 Juni 1945 : “Hendaknya Negara Indonesia ialah Negara yang tiap – tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber – Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme – agama’. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang ber – Tuhan”.!
Memang dalam QS : Al – Imraan ayat 185 dinyatakan : “Barang siapa mencari agama lain selain Islam tidak akan diterima padanya dan di akherat nanti termasuk kaum yang merugi”. Seyogyanya diingat bahwa pengertian “Islam” berasal dari kata “asalama” (menyerah) dan kata “salima” (selamat). Islam berarti tunduk kepada Allah SWT dan berserah diri serta menyerahkan segala urusan kepada – NYA, yakni menegakkan hubungan antara manusia dengan Tuhannya atas dasar prinsip “taat dan patuh”. Maka dilambangkan pada gerakan ta’biratul ikhram dalam gerakan shalat.
(Angkat tangan!).
3. Bulu sayap Burung garuda yang 17 itu dibuat bujur sangkar dan ditengahnya ditempatkan simbul Bintang maka = {[17 X 4] + 1} = 69 ref QS : Al – Ankabuut ayat 69 : “Orang yang berjihat di pihak Kami maka akan Kami tunjukkan jalan – jalan Kami, jalan – jalan kebahagiaan. Sesungguhnya Allah beserta orang – orang yang berbuat baik”. (Kunci memperoleh kebahagiaan hidup yang hakiki).
- {17 X 17} = 289 ternyata merupakan rentang waktu antara peristiwa Arofah (Idul Adha) sampai dengan peristiwa Madinah (Idul Fitri). Apa makna berhaji dan berpuasa Ramadhan ? Inilah yang harus dikaji dan dihayatinya, agar mendapatkan esensi Haji yang ma’brur, yang fitri – yang suci!
- Kejadian gempa hebat DIJ dan Jawa Tengah pada 27 Mei 2006 yang berkekuatan 5.9 SR yang terjadi pada jam 0557 koordinat episentrum pada 8,007 0 lS dan 110,286 0BT ! (Kompas, 28 Mei 2007) Apa pula maknanya ?
1. Tanggal : 27052006 = 27 + 5 + 2 + 0 + 0 + 6 = 40 yang menyiratkan Sifat – Sifat Tuhan Yang Maha Esa dimana 20 merupakan sifat yang Wajib sedangkan 20 lainnya merupakan sifat yang Mustahil. Juga melambangkan jumlah huruf Jawa Hanacaraka dan Hanacaraka balik !
- 2. Jam : 0557 = 5 + 5 + 7 = 17 (tanggal Proklamasi)
- 3. Berkekuatan 5.9 SR = 5 X 9 = 45 (tahun Proklamasi).
- 8.007 dan 11.286 :
- 8 = 8 (bulan Proklamasi)
= ‘8 (tahun Kebangkitan
Bangsa Ind.)
- 8 X 7 – 11 = 45 (tahun Proklamasi lagi)
- 286 = 28 (tanggal dan tahun Sumpah Pemuda). 28 = 10 Bulannya.
= 6 (Bulan lahirnya PANCASILA).
- 45 – 28 = 27 (jumlah Propinsi saat rezim Orba).
- 28 = 10 = 1
- 28 + 6 – 1 = 33 (jumlah Propinsi saat Reformasi.
Sebagai tambahan setelah alat pembertiahuan dini tentang adanya tsunami di NAD pada 4 Juni 2007, menggema yang membuat masyarakat kalang kabut menyelamatkan diri yang ternyata hingga kini tidak diketahui penyebabnya. Kepanikan juga melanda warga Manado, Sulawesi Utara, menyusul isu gempa dan tsunami hari Kamis 7 Juni 2007. Sejumlah orang tua melarang anak – anak mereka bersekolah, sementara pegawai negeri sipil enggan masuk kerja. Kepanikan juga melanda warga pesisir di Nusa Tenggara Timur dan Jawa Barat. Kabar soal gempa dan tsunami tersebut di dapat dari pemberitahuan televisi asing yang kemudian dilansir oleh koran – koran lokal. (Kompas, 7 Juni 2007, hal.23). Kompas menambahkan bahwa : kemarin gempa berkekuatan 3.2 SR terjadi di Jayapura, ibu kota Provinsi Papua, Rabo pukul 20.27WIT. Pusat gempa terletak di koordinat 2057’ Lintang Utara dan 140069’ Bujur Timur.
Apa makna dari angka tersebut bila ditinjau dari numorologis ? lagi – lagi pesan SIJUMLUNGA terulang kembali. Mari kita simak dan renungkan bersama :
- Jam : 20.27 = 20 Sifat Tuhan. Juga jumlah huruf Jawa. Sementara angka 27 dapat diolah : 2 X 7 = 14 = 5 dapat menyiratkan adanya lambang dari rukum Islam dan kearifan budaya lokal tentang makna keblat papat Lima Pancer, juga PANCASILA.
- Koordinat : 2 5 7 = {(2 X 5) + 7} = 17 (tanggal Proklamasi). Jumlah roka’at dalam sholat wajib. Panjang garis Lintang Utara – Selatan.
14069 = {14 – 6} = 8 (bulan Proklamasi).
= {(6 X 9) – 9} = 54 – 9 = 45 (tahun
proklamasi).
{(6 X 9) + (9 – 4)} = 59 (Tahun Dekrit Presiden sedangkan tangggal dan bulan udah tersirat di atas 5 & 7?
{(1 + 4) X 6 + 9 – 9 + ( 4 -1)} = 33 (jumlah Propinsi).
= 6 (bulan lahirnya PANCASILA)
= 9 (merupakan jumlah lubang manusia)
257= { 2 X 57 } = 114 (jumlah Surat pada kitab Al – Qor’an).
= {(72) – ( 2 + 5 + 7) – (5)} = 30 (jumlah Juz Al – Qor’an).
{ ( 5 X 7) – 7 } = 28 (tanggal dan tahun Sumpah Pemuda). Sedangkan 28 = 10 bulan Sumpah Pemuda.
Masihkah kita menafikan anugerah yang luar biasa tersebut dan layakkah kita tidak mensyukurinya ? Rasa syukur bukanlah hanya cukup diucapkan melainkan harus tercermin dalam sikap dan perbuatan untuk tidak melupakan sejarah bahwa bangsa ini tidak tiba – tiba ada melainkan dengan perjuangan ektra keras yang terus menerus ribuan tahun lamanya hanya secara nasional dimulai sejak berdirinya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 maka wajib hukumnya bagi anak bangsa guna mempertahankan dan menegakkan Negara Proklamasi dengan menjunjung tinggi “Sumpah Pemuda”, senantiasa berlaku hidup dengan bernuranikan PANCASILA dengan melaksanakan amanat UUD 1945 sebagaimana Dekrit Presiden Soekarno. Sikap “hubbul waton minal iman” (cinta negara adalah sebagian dari iman), harus dijiwai oleh seluruh warga bangsa, bukannya sebaliknya.
Kaum spiritualis berharap akan bijak manakala kita mau beremphati andai saja kita adalah para pejuang dan pahlawan yang telah gugur, bahagiakah kita melihat anak cucu tidak memelihara warisan dan melaksanakan amanatnya ? Tenang dan relakah ruh kita di alam kuburnya ? Itulah ibaratnya saat ini bagi anak bangsa yang tidak pernah berjuang namun ingin merubah bangunan Negara Proklamasi sesuai dengan keinginan mereka dengan menjadikan Amerika Serikat sebagai kiblat dan atau menjadikan negara dan bangsa ini Arab sentris. Namun bila itu yang terjadi di tengah masyarakat yang hetorogen, yang pluralistik, yang berbhinneka, yang multi kultural ini. Maka hepotesis Ibnu Khaldum (1332 – 1406M) yang menyatakan : “Bahwa bangsa Pecundang gemar meniru bangsa yang lebih kuat, baik dalam slogan, cara berpakaian, cara beragama, gaya hidup serta adat istiadat” mendekati kebenarannya !.
Hikmah berbagai peristiwa alam dan non alam seiring dengan berbagai peringatan hari besar Kristiani yang memiliki pesan moral atas cinta kasih – keselamatan – lahir – mati dan kebangkitan. Disamping itu kita diingatkan adanya nubuat pada:
- Yesaya 5 : 25 “Sebab itu bangkitlah murka TUHAN terhadap Umat – NYA, diacungkannya Tangan – NYA terhadap mereka dan dipukulnya mereka; gunung – gunung akan gemetar dan mayat – mayat mereka akan seperti kotoran di tengah jalan. Sekalipun semuanya ini terjadi murka – NYA belum surut, dan Tangan – NYA masih teracung”.
- Yesaya 29 : 14 “Sebab itu, sesungguhnya, AKU akan melakukan pula hal – hal yang ajaib kepada bangsa ini, keajaiban yang menakjubkan; hikmat orang – orangnya yang berhikmat akan hilang, dan kearifan orang – orangnya yang arif akan bersembunyi”.
- Yesaya 29 : 20 “Sebab orang yang gagah sombong akan berakhir dan orang mencemooh akan habis, dan semua orang yang berniat jahat akan dilenyapkan”.
- Mazmur 53 : 4 “Mereka semua telah menyimpang, sekaliannya telah bejat, tidak ada yang berbuat baik, seorangpun tidak”.
- Mazmur 53 : 5 “Tidak sadarkah orang – orang yang melakukan kejahatan, (mahkluk – mahkluk NYA, SDA ? dll.) seperti memakan roti, dan yang memakan habis umat – KU yang tidak berseru kepada Allah”.
G. SEBUAH IMPIAN
Seiring masih tertidurnya diri kita, nampaknya sah – sah saja bila kita merasakan adanya peristiwa mimpi di dalam mimpi yang direnda begitu indah, syahdu dan begitu nikmatnya. Dan inilah impian itu :
1. Supremasi SRI – MAJATARAM
Maka peristiwa PT. Lapindo Brantas yang mengekploitasi alam dengan sembrono, mengebur bumi sesuka hati tanpa memberi pengaman atas pipa yang ditancapkan ke perut bumi serta tidak ada “rasa penghormatan atas Sang Ibu Pertiwi”. Juga bagimana kerusakan di Kepri (Kepulauan Riau) dengan penambangan pasir,dan sebagai tempat pembuangan limbah B2 dari Singapura; di Kalimantan dengan penambangan batu bara, di Papua dengan penambangan emas dan minyak bumi, juga di tempat – tempat lain , belum lagi kerusakan hutan akibat pembalakan liar dan pemberdayaan alam yang tanpa adab maka akan mempercepat kemusnahan NKRI dari peta dunia.
Suku – suku yang kita anggap primitif justru mengajarkan suatu kearifan kepada kita untuk memperlakukan alam ini sebaik mungkin dengan menjaga keselarasan, keseimbangan dan keraharjaan alam seisinya. Bagaimana Suku Badui Dalam yang mengharamkan penggunaan alat – alat yang terbuat dari logam untuk mengolah tanah, dan membangun rumah, bagaimana suku Naga di Tasik Malaya menghormati pohon – pohon – hutan belantara. Juga masyarakat adat lainnya di Pelosok Nusantara ini. Ancaman dan kearifan lokal tersebut hendaknya mampu membangkitkan bangsa ini guna kembali kepada alam dan budaya jati diri bangsa. Back to nature and back to basic of spiritual value !
Ajaran leluhur Majapahit (Tantularisme) dengan “Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa” juga Doktrin Gajah Kencana serta 15 azas Leadereship Gajah Mada. Tak ketinggalan Pajajaran dengan filosofi : “Saling asih – saling asah – saling asuh – saling wewangian sa – uyunan” hendaknya dihayati. Dan untuk membangkitkan kembali kejayaan NKRI kita tidak boleh melupakan para leluhur juga ajarannya sehingga supremasi nilai – nilai spiritual dan patriotisme yang diwariskan oleh SRI – MAJATARAM yakni Sriwijaya dan Majapahit dengan negara nasional atau “Wawasan Nusantaranya”, Pajajaran dengan “wangsit Sili(h)wanginya” dan Mataram dengan menjunjung tinggi martabat dan mempertahankan kedaulatan tanah air dengan motto “sedumuk bathuk senyari bumi nedya ditohi pati” kiranya mutlak untuk dikobar – kobarkan kepada seluruh anak bangsa ini guna mempertahankan Negara Prokalmasi.
Hilangnya Timor – Timur, Sipadan dan Ligitan jangan sampai terulang kembali. Ambalat harus dipertahankan dengan darah dan nyawa sebagaimana supremasi SRIMAJATARAM tersebut.
2. Kita Harus Dengan Jujur Mengakui Adanya Kekeliruan
Kembali kepada kecenderungan terkuburnya Negara Proklamasi yang berdasarkan spiritual – laku hidup PANCASILA perubahan UUD 1945 yang tanpa mandat rakyat (referendum) harusnya segera dinyatakan batal demi hukum dan para elit penyelenggara negara dengan jujur dan jantan mau mengakui kesalahan tersebut dan menyerukan untuk kembali kepada dasar negara dan UUD 1945 sambil menunggu perumusan yang konprehensif dan mendapatkan legitimasi dari rakyat sebagai pemilik sah kedaulatan dengan cara referendum.
Dan seiring dengan upaya yang gigih dari anggota DPD untuk pemuasan egonya yang konon agar lebih berperan dengan menggalang simpati anggota MPR dan para gubernur guna mengadakan amandemen yang ke lima kalinya khususnya pasal 22 seyogyanya diurungkan manakala mereka menggunakan nuraninya dan menyadari kesesatan tersebut dan tidak mempercepat ambruknya Negara Proklamasi ini. Namun kalau itu yang dikehendakinya ya apa boleh buat ? Asalkan resiko ke depan telah diperhitungkan dan rela dihujat oleh anak turunnya.
3. Perubahan UUD 1945 harus dengan cara yang arif bijaksana & semata – mata demi amanat penderitaan rakyat
Agar tidak digugat oleh anak – cucu kita kelak sebagai bangsa yang mewariskan suatu tatanan yang centang – perenang. Juga agar tidak dikatakan sebagai anak yang durhaka oleh para founding fathers dan para pejuang serta pahlawan. Maka untuk maksud baik tersebut tidak harus tergesa – gesa, ibarat pemain sinitron kejar tayang karena ini menyangkut nasib bangsa & negara. Beberapa spiritualis berpendapat seyogyanya setelah melihat adanya tobatan nasuha yang telah digelar oleh Pemerintah sejak 2 Maret 2007, yang belum membawa hasil ini, andai saja mereka benar – benar memperjuangkan rakyat, uji cobanya simpel. Yakni mau dan mampukan mereka melakukan puasa dengan tulus ihklas demi rakyat, selama tiga hari saja ? Tidak perlu seperti Gajah Mada yang mutih selama 32 tahun ? Dan diikuti pendekatan kembali kepada Sang Khaliq, apa yang harus diperbuat demi amanat pendereitaan rakyat itu ?
Mengapa cara – cara yang ditempuh hanya mengumpulkan suporter belaka agar memperoleh quorum sebagaimana diatur oleh UUD hasil permakan itu ? Tidak satupun yang memiliki ide untuk menggunakan referendum ? Seharusnya para negarawan bertindak bijak, para senator ala Nusantara seyogyanya tidak memaksakan kehendaknya. Karena sekalipun kelak berhasil memformulakan pasal 22 UUD 1945, pada saat sidang pengambil keputusan akan banyak anggota MPR yang walkout ?Apa yang akan terjadi ? kerjanya akan sia – sia apa lagi para gubernur bukanlah anggota MPR! Idialnya anggota DPR dan DPD mengusulkan kepada MPR untuk tercapainya suatu referendum. Untuk efektivitas dan efisiensi serta legitimasi dari pemilik sah kedaulatan , pelaksanaan referendum tersebut dapat dilakukannya bersamaan dengan digelarnya Pemilu Legislatif pada 2009. Keinginan rakyat semuanya harus ditampung sehingga berbagai opsi harus dirumuskan seperti misalnya :
(1). Kembali kepada UUD 1945 yang asli hanya dengan
penyempurnaan tentang penjelasannya saja.
(2). Menerima dengan bulat UUD 2002 .
(3). Menyetujui dilakukan adanya amandemen kembali secara
konprehensif yang melibatkan semua unsur bangsa.
Apapun hasilnya semua pihak harus legowo dan mendukung pilihan rakyat dan menindak lanjutinya dengan berbagai kebijakan yang adil, jujur dan berdaya guna demi terpenuhi amanat penderitaan rakyat tersebut.
Akan bijak manakala bangsa ini tidak membiarkan kesalahan demi kesalahan itu berlanjut.
Dengan kebijakan jalan pintas, banyak pihak menilai bahwa partai politik sebagai lokomotif demokrasi dinilai gagal menyuarakan kepentingan rakyat apa lagi terbentuknya pengkaderan pemimpin – pemimpin bangsa. Karena semuanya silau pada pragmatisme dan kekinian tentang “Kekuasaan” semata. Demikian pula DPD yang mengklaim dirinya mendapat legitimsi penuh karena dipilih langsung oleh rakyat ketimbang DPR sehingga menuntut kewenangan yang berlebih ?
Semua melupakan bahwa produk terbentuknya DPD dan amandemen UUD 1945 adalah melalui proses yang salah. Karena rakyat tidak pernah memberi mandat guna mengadakan amandemen UUD 1945. Kita mengulangi kesalahan serupa sekalipun berbalik mekanismenya bila di rezim Presiden BJ. Habibie, rakyat Propinsi XXVII Timotr – Timur diberikan referendum dengan dua opsi tapi dengan tanpa mandat dan pengesahan dari sidang MPR. Saat ini DPD yang nota bene merangkap sebagai anggota MPR, ingin disahkan tapi tanpa referendum. Akankah kita terus dibawa kepada kealpaan dan terjerumus pada “blunder” untuk ke sekian kalinya ?
Dengan demikian akan menghasilkan sikap yang pro dan kontra sehingga hanya akan menghabiskan energi, uang dan waktu yang sia – sia belaka ?..
Sementara derita rakyat sudah tidak terperikannya lagi ? Dan semakin jauh tertinggal oleh bangsa – bangsa lain.
Ajaran Demokrasi PANCASILA, yakni : “demokrasi yang Berketuhanan Yang Maha Esa, yang Berkemanusiaan yang adil dan beradab demi menjaga Persatuan (bangsa) Indonesia dengan cara menjunjung tinggi kedaulatan rakyat yang harus diimplementasikan dalam perwakilan dan diselenggarakan dengan musyawarah yang senantiasa dipimpin oleh hikah kebijaksanaan agar tercapai Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” !
Maka keinginan untuk melakukan amandemen kembali UUD 1945 mensyaratkan adanya “cita – cita yang benar, tujuan yang benar hendaknya dilakukan pula dengan jalan yang benar pula”. Hanya dengan cara itu akan memperoleh berkah dan rahmatNYA.
4. Ibu Kota Negara
Adanya pro dan kontra atas Pilkada Tk I DKI Jakarta yang menafikan calon independen dan tidak sabarnya menunggu keputusan MK serta wanita tidak diberi ruang gerak tentu akan memiliki berbagai ekses. Akibatnya Golongan Putih (Golput) yang merupakan pilihan sebagian rakyat akan semakin mengkristal dan bagai gunung es yang kelak mampu memporak perandakan kepongahan partai politik itu sendiri. Rasa tidak percaya mereka akan berpadu dengan golongan akademisi yang tidak memiliki saluran ke lingkaran kekuasaan. Nah kalau ini terjadi dan dari tahun ke tahun cenderung meningkat, dapat dibayangkan sekalipun itu juga merupakan hak demokrasi.
Kita merasa kasihan kepada Ibu Megawati, akibat tidak adanya kader partai yang dianggap kapabel, sudah akan ada dua gubernur DKI justru didukungnya yang semua bukan dari PDIP dan sayang tidak mengkomodir calon independence, sampai rela muncul di layar kaca guna mengkampanyekan salah satu cagub. Kiat oposisi yang didengungkan dirasa hambar dan kontradiktif.
Dengan beban Jakarta sebagai ibu kota negara dan menyandang nama kota metropolitan bahkan megapolitan sebagaimana gagasan Bang Ali yang sekaligus penasehat Bang Yos, sehingga ada keinginan dikembangkannya kawasan penyangga menjadi kesatuan wilayah “JABODETABEK” yang kelaknya dipimpin oleh seorang menteri seperti Newyok, USA. Bagaimana UU Ibu Kota Negara yang tak akan lama lagi disahkan itu yang juga sekaligus merupakan payung hukum bagi pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, walau UU No. 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintah Daerah masih dapat sebagai rujukan.
Dengan ancaman alam. Perembesan air laut dan abrasi serta banjir yang kian hari kian menghantui warga ibu kota. Juga infrasturktur yang tidak lagi mampu mengimbangi dengan perkembangan Jakarta. Dua puluh tahun lagi ibu kota dapat dibayangkan bagaimana kondisinya. Jalan raya tidak bertambah tapi kendaraan selalu bertambah dengan drastis bagai deret ukur!
Apakah dimungkinkan adanya relokasi ibu kota negara dalam UU Ibu Kota Negara tersebut ? Kita tunggu saja.
Sungguhpun demikian dengan adanya berbagai alasan tersebut di atas itu Ibu Kota Negara seyogyanya dipikirkan untuk dipindahkan ke suatu kawasan baru di luar Jabodetabek. Ada baiknya Jabodetabek merupakan pusat perdagangan dengan industrialisasinya. Kita tidak perlu malu mencontoh bagaimana Malaysia ? Namun demikian kiranya tidak asal pilih karena harus memenuhi berbagai kriteria baik segi sejarah, budaya, geografis, geopolitis, antropologis, sosiologis, arsitektur, filosofis dan spiritual. Filosofi kota – kota kerajaan yang direlokasi, baik di zaman Mpu Sendok, R. Wijaya, pendiri Majapahit, Sultan Agung Hanyokrokusumo yang merelokasi ibu kota kerajaan Mataram dari Kota Gedhe ke Kerto juga Hamangkurat Amral (Admiral) merelokasi dari Pleret ke Kartosuro dan oleh Paku Buwono II dari Kartosuro ke Surakarta (Sala, Sa dari kata Desa dan La dari ala yakni desa ala) hendaklah memberi inspirasi Pemerintah untuk segera merencanakan relokasi seiring ibu kota negara Jakarta tidak lagi mampu mengimbangi arus perkembangan modernitas transportasi, ledakan penduduk maupun ancaman alam (bajir, abrasi, perembesan, kelangkaan sumber air dll.).
Keengganan para penyelenggara negara untuk memikirkan nasib ibu kota negara atau kelalaian tentang urgensinya, tebusannya akan sangat mahal. Di saat rezim Pak Harto secara samar – samar ada isu untuk dipindahkan ke Jonggol, Bogor seyogyanya mampu memberi inspirasi bagi rezim SBY/MJK untuk memprogramkannya. Dan seyogyanya membahas dengan DPR/MPR untuk membentuk team survey yang terdiri dari para pakar dan spiritualis yang berlatar belakang kompetensi masing – masing. Konsep Megapolitan hendaknya tidak termasuk pusat pemerintahan. Kecuali bisa jadi masih sebagai pusat Legislatif dan Yudikatif saja.
Pilihan tempat bisa di tatar Mahagelang (Magelang) dan atau sekitarnya karena disamping merupakan nucleus (inti sel) Nusantara di daerah tersebut terdapat bukti peradaban tinggi dengan Borobudur – Mendut – Pawonnya.
Yang juga merupakan daerah kerajaan Mataram Kuno, Kalingga, Mataram Islam.
Juga di Tidarlah terdapat prasasti perjanjian antara Syech Subakir dengan Sabdo Palon Noyo Genggong tentang syiar dan hegomoni Islam. Secara alami berhawa sejuk, berbukit – bukit sehingga tidak perlu AC sehingga ikut pula menjaga kerusakan ozon agar pemanasan global dapat pula dikurangi.
5. Keistimewaan DIJ dan rencana founding fathers yang belum terlaksana
Penyaji teringat atas saresehan yang digelar oleh Sanggar Blokosuto pada 19 Februari 2000 dengan topik sensasional “PROPINSI SUPRA ISTIMEWA BERWILAYAHKAN BUMI MENTAOK, MENYUSUL BATALNYA PERJANJIAN GIYANTI”.
Dalm makalahnya (Alm). RM.Sawito Kartowibowo, yang diera Pak Harto dipidana karena subversib namun di era Presiden Abdulrrahman Wahid memperoleh Abolisi sekaligus Rehabilitasi dengan Kepres No. 93/2000 tertanggal 11 Juli 2000 yang tertuang dalam lembaran negara RI tahun 2000 No. 111.
Ia menyampaikan sebagai berikut : “Beberapa tokoh pejuang pendiri Repubklik Proklamasi, termasuk Dwitunggal Proklamator Kemerdekaan Indonesia Soekrno – Hatta, semua nama yang tercantum dalam tulisan ini, saksi kenal dengan baik berhasrat mendirikan Daerah Propinsi Istimewa berwilayahkan ‘BUMI MENTAOK”, dengan ibu kota (sementara) Yogyakarta. Niat tersebut sebagai akibat adanya Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, disusul dengan telegram Sri Sultan Hamengku Buwono IX kepada Presiden Republik Indonesia Soekarno – Hatta pada 19 Agustus 1945.
Yang demikian mengandung arti ; “Batalnya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755), maupun dokumen No. 13 tentang kedudukan Swapraja dari Penguasa Pendudukan Balatentara Kerajaan Jepang (30 Juli 2602 Showa, atau 1942M)”. Penekanan penderian Propinsi Istimewa ini diarahkan khusus berlandaskan atas “sejarah peradaban bangsa Indonesia “ yang terjadi di wilayah Bumi Mentaok, sedari jaman Purba hingga dewasa ini, yang dipisahkan dalam dua periode penilaian yakni :
- Sejak ditemukan awal kehidupan kemanusiaan (yang oleh pakar bangsa Belanda disebut : als de bakermat van een der vroegste rassen dermensheid) yang termasuk keajaiban dunia, seperti yang dibuktikan dengan berdirinya Borobudur, atau disebut dengan “Bumi Sambhara Bhudura” itu.
- Peran sertanya dalam kancah perjuangan revolusi fisik mempertahankan Republik Proklamai.
Bumi Mentaok diyakini memiliki daya kekuatan alam yang luar biasa hebatnya (supra natural), penuh misteri keajaiban sebagai sumber daya bumi, pendukung menumbuh kembangkan peradaban, tak beda flora dengan media tanahnya, fauna dengan habitat aslinya.
Kaum okultis menyakini Bumi Mentaok selaku “INTI SEL” (KERN) atau NUCLEUS sel tanah air kepulauan Indonesia, dengan demikian Bumi Mentok merupakan bagian tak terpisahkan dari wilayah Indoneia, negeri orang Indonesia asli dari Aceh hingga Irian, bahkan merupakan “SUH” (tali pengikat sapu lidi) dari untaian ribuan pulau Nusantara Indonesia.
Patut diperhatikan, sedemikian maha pentingnya Bumi Mentaok bagi kaum pribumi asli Indonesia dari generasi ke generasi, sehingga nenek moyang kita berujar – bertutur wasiat : “Biarpun hanya tinggal (tersisa) seluas batas selebar payung berkembang” Bumi Mentaok harus dipertahankan kemerdekaannya, agar di hari kemudian masih tersedia tanah pijakan buat menuntut kemerdekaan negri warisan nenek moyang kembali dari penjajahan asing.
Wajib disadari dan disyukuri, kehadiran Bumi Mentaok selaku tanah pijakan mengusir penjajah asing, dan sebagai tali pengikat persatuan dan kesatuan tanah air, maupun anak negeri penduduk pribumi asli Indonesia tersebut, turut mengukir dan mengagungkan Sejarah Perjuangan Nasional Indonesia seutuhnya. Perlu tanda penghargaan tersendiri senilai sejarahnya itu.
Penganugerahan terhadap tanah pijakan dan tali pengikat kesatuan dan persatuan para pejuang tanpa pandang suku, agama maupun aliran politik dari anak bangsa tadi, yang memperoleh kemengangan setelah ratusan tahun dijajah bangsa asing tersebut, tidaklah cukup hanya dalam wujud monumen mati, ataupun sekedar “wujud tanah perdikan” belaka. Tetapi memadai berwujud “Daerah Propinsi Instimewa Bumi Mentaok”, mengingat cakupannya yang luas tertuju pada semua orang yang memperoleh predikat yang dirumuskan oleh founding fathers sebagaimana disebut dengan “Orang Indonesia Asli” dan sebagai warga negara yang berhak untuk dipilih sebagai Presiden Republik Indonesia disebut “orang Indonesia asli” ialah anak negeri pribumi atau bumi putera yang tetap memiliki jiwa asli Indonesia, dan yang bukan yang berjiwa tiruan atau yang tercemar oleh jiwa asing.
Seperti kita tahu, yang disebut “bangsa” adalah satu jiwa seperti yang disitir oleh Bung Karno dari Ernest Renan agar dipahami pendirian Daerah Propinsi Istimewa berdasarkan sejarah nasional ini, untuk kepentingan seluruh daerah, bukan hanya keuntungan daerah yang bersangkutan.
Wilayah Bumi Mentaok bukanlah bekas wilayah suatu kerajaan akan tetapi “suatu medan magnit yang memiliki kekuatan daya alami atau disebut supra natural power yang ghaib/misteri sifatnya yang diketahui berdaya guna handal dan khas sebagai daya ikat penyatu kekuatan alam Nusantara yang mampu mendorong semangat dan daya dorong kaum pribumi asli, sehingga berdaya tolak terhadap sesuatu yang berbau asing bagi peri kehidupan yang bisa merusak keaslian alam Nusantara”.
Wilayah dimaksud membentang dari Sumber Pucung di Timur, berbatas Sungai Brantas, pesisir berikut Samudera Indonesia (Hindia) berbandar Cilacap di batas Selatan, berbatas daerah Banyu Mas di Barat, sedangkan sebelah Utara adalah daerah pegunungan tengah Pulau Jawa berhulu di lereng Timur Gunung Merbabu di atas Boyolali. Peta Bumi Mentaok sendiri berpusarkan Gunung Tidar.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX dengan menunjukkan peta bumi Jawa Tengah (overzichtskaar cetakan 1939 berbahasa Belanda) menjelaskan yang disebut “Bumi Mentaok” dewasa ini telah menjadi wilayah Karesidenan Kediri, Madiyun, Surakarta, DIY, Kedu dan Banyumas.
Dan kalau direnungkan Bumi Mentaok tak beda jauh, mirib dengan wilayah Republik Renville, yang diperlakukan atas adanya perjanjian di atas kapal USS RENVILLE pada 17 Januari 1948 antara Republik Indonesia dengan Pemerintahan Belanda. Di dalam peta bumi itu juga tercantum peta daerah – daerah Swapraja Kasunanan, Kasultanan, Mangkunegaran dan Paku Alaman yang kini menjadi wilayah Keresidenan Surakarta dan DIJ.
Jadi wilayah karesidenan Surakarta, maupun DIJ yang sekarang tidak berubah sama sekali seperti tersebut dalam perjanjian Giyanti antara kerajaan Mataram dengan Vereenigde Oost Indische Compgnie (VOC) Belanda di tahun 1755 yang terjadi, diakibatkan permusuhan antar keluarga Kerajaan Mataram sendiri, sehingga tanah yang semula adalah hak milik kerajaan, berakhir justru kerajaan meminjam dari VOC dengan orang – orang China yang pernh berontak terhadap kerajaan menjadi sekutu dagang dengan Belanda. Dengan memperbudak dan menghisap tanah air dan tenaga kaum bumi putera penduduk asli Indonesia.
Sejarah yang demikian itu mendorong perlunya di wilayah itu segera didirikan “Propinsi Supra Istimewa Bumi Mentaok” berdasar atas sejarah dan alam. Padahal telah ribuan tahun sebelumnya di wilayah yang sama menjadi daerah “keajaiban dunia”, tersohor akan keluhuran budi pekerti penduduk negerinya. Upaya pembuatan Propinsi Supra Istimewa berdasar sejarah dan alam itu, setidaknya mengembalikan harga diri suatu bangsa, membatalkan perjanjian dengan penjajah asing yang lalu, seperti perjanjian Giyanti. Niat negarawan besar seperti Dwitunggal Soekarno – Hatta, Mr. Iskaq Tjokrohadisoerjo, Mr. Soejono dan tidak ketinggalan Sri Sultan HB IX yang kelimanya sangat memiliki asset sejarah perjuangan bagi daerah Bumi Mentaok.
Para tokoh nasional ini telah mampu mengembalikan Republik Renville menjadi wilayah Republik Proklamasi dari Sabang hingga Meraoke, kiranya tidaklah sukar generasi sekarang mengembalikan wilayah Daerah Istimewa Jogyakarta sekarang ini yang keberadaannya atas dasar sejarah Perjanjian Giyanti, dijadikan Daerah Supra Istimewa Jogyakarta berwilayahkan bumi Mentaok”.
Nah dari urian tersebut di atas, disamping yang demikian tadi telah menjadi niat hati para pendiri Republik Proklamasi yang belum sempat terwujud, kini saatnyalah seiring krisis Keistimewaan DIJ dengan tidak berkenannya lagi Sri Sultan HB X dicalonkan menjadi gubernur pada 2008 mendatang, dituntut kearifan dan kebijaksanaan para elit penyelenggara Negara termasuk para gubernur (Jatim – Jateng – DIJ) dan para bupati – wali kota serta para pamengku pusat budaya Kraton Surakarta Hadiningrat – Mangku Negara – Paku Alaman dan Ngayogyakarta Hadiningrat serta para DPRD – DPD dan para sejarawan, peneliti, agamawan, sosiolog, antropolog, ilmuwan, spiritualis, pemuka adat – istiadat, kaum HPK bekenan melaksanakan amanat tersebut. Secara yuridis hal tersebut dibenarkan secara undang – undang otonomi daerah juga faktor kesejarahan dan alam. Lalu apa lagi ? Apakah nantinya dipimpin oleh seorang Menteri Muda atau gubernur jenderal yang datang dari pihak kraton atau tidak terserah para perumus DIJ. Syukur antara pemindahan Ibu Kota Negara dan Keistemawan DIJ menjadi satu paket sehingga secara komprehensif dan integralistik merupakan cermin kearifan dan kebijaksanaan para penyelenggara negara atas nasib bangsa dan negara ke depannya.
Usulan ini sama sekali bukan untuk membangkitkan kembali feodalisme melainkan memberikan penghargaan terhadap jasa besar Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Dan bukankah negeri jiran Malaysia dengan sistem kerajaan (yang bergantian dipertuan agung) justru menjadi negeri yang makmur ? bahkan banyak rakyat ini yang mengais rejeki di sana ? Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau menghargai pahlwannya.
Bung Hatta secara objective menyatakan bahwa : “Feodalisme lama sering kita benci, karena banyak sekali diperalat oleh para penjajah. Tetapi seburuk – buruk feodalisme lama itu sedikit banyak ia tahu akan kewajibannya kepada masyarakat “ . Feodalisme sering diidentikkan dengan priyayi yang kadang dinilai oleh sebagian masyarakat tidak proporsional. Apa yang dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi (Pangeran Sukawati) yang kemudian menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono I dan bagaimana ketauladanan dan kepeloporan Sri Sultan Hamengku Buwono IX (terakhir sebagai raja yang sebenarnya), adalah sebuah kaca benggolo bagi seluruh anak bangsa!
Para legislator kini dituntut kemauan, keberanian, kesungguhan dan kearifannya demi amanat penderitaan rakyat.
Semoga dengan adanya berbagai krisis tersebut mampu membangkitkan kesadaran bersama. Jangan sampai bangsa ini terkena azab dan geliat alam yang kapan saja akan mampu memporak perandakan segalanya. Jauhkanlah ya TUHAN dari bendu – MU. Amien.
PENUTUP
Selagi umat manusia di dunia jumawa dan tidak memiliki keadaban sesama mahklukNYA maka dunia ini akan punah khususnya bagi negeri kita tercinta ini.
Pelecehan atas sumpah dan janji para pejuang – pahlawan dan founding fathers atas apa yang mereka perjuangkan dan canangkan serta ikrarkan seperti Negara Proklamasi dengan PANCASILAnya yang disaksikan oleh langit dan bumi, yang serta merta oleh anak cucunya amanat, wasiat dan warisan tersebut dinafikan maka alam akan menuntut balas.
Pergolakan alam adalah revolusi karena umat manusia sebagai kalifah TUHAN tidak lagi mau menjadi wakil TUHAN untuk senantiasa memayu harjaning bawana lha sekedar menghargainya saja tidak mau, apa lagi menjadi sahabatnya walau nyatanya selalu minta disusui oleh Ibu Pertiwi. Umat manusia menjadi congkak dan serakah serta menistakannya maka alampun akan melumatkan dan mencari sahabat – sahabat baru. Unsur manusia dari alam ini yakni tanah, air, api dan angin akan dayan dinayan menyadarkan umat manusia dan sudah barang tentu tak seorangpun mampu menanggulangi amukannya. Siapa yang akan lolos atau mbrojol dari sela – selaning garu bisa jadi hanya orang – orang yang terpilih dan terseleksi oleh TUHAN.
Hukum Alam akan terus berjalan sebagaimana slogan atau semboyan : “Laissez faire et laisez passer, le monde va deluimeme (Perancis) dan Inggrisnya : “Don’t interfere the world will take care of itself”.
Dalam Era Kali Yuga atau zaman Kala Bendu, dimana merupakan zaman yang tidak mengenakkan karena bendu (karma manusia) dimana mungkin dapat disimpulkan bahwa Tahun :
2007 adalah “Tahun Bencana”, (Bencana Alam, bencana birokrasi, bencana undang – undang, bencana sejarah, bencana budaya, bencana ekonomi/sembako dll.). maka betapa kepaitan hidup dirasa oleh sebagian besar bangsa ini. Akibatnya nurani telah mati suri seirinmg deraan dan himpitan ekonomi, yang luar biasa, krisis demi krisis dari BBM, gula, beras dan minyak goreng yang semuanya hampir menyentuh harga Rp 10.000 per Kg atau per Lnya.
Nampaknya sesuai dengan isi pesan Misteri Tahun Saka Jawa 1940 yang juga disebutkan bahwa : pekerjaan syetan telah diambil alih oleh manusia. Pujangga pada goroh, Pendita ora nyata! Banyak orang kewirangan. Dari surya sengkala telah menyiratkan adanya : “Ngulama Sirna Ilang – ing Panembah” (2007 dibaca terbalik).
- Mungkin pada 2008 adalah “Tahun Nurani” karena dalam tahun 2007 adalah merupakan pergolakan nurani siiring himpitan ekonomi dan atau ada yang kelimpahan harta. Nnamun kadang justru menumpulkan kesalehan sosial. Contoh orang yang sekedar memenuhi ego kenikmatan berhaji, sehingga tiap tahun naik haji, maka peristiwa kelaparan kurang lebih 30.000 jemaah haji tahun 2006 hendaknya menjadi bahan renungan. Bukan tanpa pesan moral dan spiritual.
- Dan yang perlu diwaspadai bahwa tahun 2009 nanti saat akan diadakan Pemilu ada peristiwa langka yakni terjadinya :” Tahun baru Masehi 2009 dan Hijriyah 1430 serta Saka Jawa 1942 yang nyaris bersamaan. Akhir tahun Masehi 2008 hari Senin Pon, tahun Je merupakan tahun baru Hijriyah 1 Muharram 1430 dan 1 Suro 1942 SJ. Selasa Wage, 1 Januari 2009 tahun baru Masehi. Libur 4 hari berturut – turut. Oleh sebab itulah banyak kaum spiritualis menyimpulkan bahwa tahun 2009 “Tahun hiruk pikuk” .
- Dan secara alami baru pada tahun 2010 keadaan akan terasa adanya penyesalan dan sekaligus pencerahan (aufklarung) dan keutamaan (virtue). Sebagai “Tahun Keselarasan”. Dan semoga saja sebelum dua windu berikutnya (2024?) keadaan Nusantara telah mulai mapan.
Akhir dari tulisan ini perkenankanlah penyaji yang amat dhoif ini mengakhiri dengan nukilan tentang perlunya menjadi orang – orang yang tahu (mengenal) diri (nya) sehingga akan tahu (mengenal) TUHANnya. Karena hanya ditangan pemimpin –pemimpin yang tahu dirilah bangsa ini akan menjadi bangsa yang besar dan adil – makmur penuh dengan kedaulatan dan keberadaban.
Karena kita tidak lagi dapat mempertahankan kepemimpinan yang mendasarkan pada adat, karena kepemimpinannya menjadi “adat – adatan”. Demikian pula kita harus pula mengakhiri cara kepemimpinan dengan akal karena hanya akan memunculkan kepemimpinan yang “akal – akalan”.
Maka tidaklah keliru bila ada penilaian bahwa bangsa ini “krisis Leadership” dan yang marak hanyalah “dealership” , agen bangsa – bangsa imperialis!
Saatnyalah kini kepemimpinan bertumpu pada aqklak – nurani – qalbu – budi pekerti. Aqklakul kharimah.
Sehingga filosofi yang diwariskan oleh Ki Hajar Dewantara manakala di depan hendaknya “selalu sung tulada” (memberi suri ketauladanan) dan bila di tengah – tengah senantiasa “mangun karsa” (membina tekad bersama dan mendaya gunakan seluruh potensi serta bila di belakang senantiasa “ tut wuri handayani” (mengikuti sambil tidak putus – putusnya memberi pengarahan) dengan mengetrapkan ajaran “hasta brata”.
Kita berharap dari 220 juta lebih bangsa ini akan melahirkan generasi pemimpin yang handal sesuai dengan tuntutan zamannya.
- Spiritualis India Vivekananda menyatakan : “Kalau ada orang yang menyatakan, bahwa orang yang tidak beragama itu adalah a – theis (tidak ber – Tuhan), maka aku menyatakan, bahwa orang beragama yang tidak mengenal dirinya, dia itulah yang a-theis”.
- Teilhard de Chardin dalam bukunya “The Phenomenan of man” menegaskan “No longer merely to know, but to know oneself; no longer merely to know, but to know that one knows” (Tidak lagi asal sekedar tahu, melainkan mengenal diri sendiri; tidak lagi asal sekedar tahu, melainkan tahu bahwa pribadinya mengetahui).
- Nabi Muhammad saw bersabda : “Man arafa nafsahu waqad arafa rabbahu” (barang siapa mengenal dirinya maka niscaya ia dapat mengenal Tuhannya).
Nah bila bangsa dan pemerintahan ini tiada kesadaran dan kemauan untuk mempertahankan Negara Proklamasi dengan PANCASILA sebagai dasar – azas – filosofi – sumber tertib hukum, maka NKRI ini sedang menuju ke fase “KEMATIAN” , sebagaimana pendahulunya Negara Sriwijaya dan Majapahit maupun negeri manca seperti Uni Soviyet dan Yogoslavia. Relakah
Dan sebagai bangsa yang besar hendaknya bangsa ini tidak menuhankan tehnologi dengan merendahkan mitologi, idealnya keduanya seiring sejalan saling mengisi sehingga laku hidup Berpancasila bisa terhayati oleh anak bangsanya. Yang lahir juga yang batin. Marilah kita berjuang bersama untuk menjaga persatuan dan kesatuan serta menjadikan diri kita sebagai bangsawan karakter – Prokalamatoris (pewaris Proklamasi tidak hanya sekedar Soekarnois dan atau Hattais) yang berjiwa Pancasila yang Islami, yang Kristiani – yang Hinduis – yang Buddhais – yang Kong Hu Chuis dan yang Spiritualis semata – mata untuk mewujudkan cita – cita Proklamasi yakni terciptanya tatanan masyarakat yang merdeka, bersatu, adil dan makmur serta berbudaya tanpa tersekat – sekat oleh unsur suku – agama – ras dan antar golongan.
Dengan cara itulah kita sebagai generasi penerusnya akan mampu menyuargakan – menfirdauskan Founding Fathers, para pejuang dan Pahalawan Nusantara “Pendiri Negara Proklamasi”.
Semoga bangsa ini tidak menuju ke fase “kematian” melainkan (mulai) kebangkitan SRI – MAJATARAM untuk menjadi Indonesia Raya sebagai Mercusuar dunia, sebagaimana impian Bung Karno. Karmane fadikaraste mapalesyu kadyacana.
Jakarta, 21 Juni 2007
Sungkem dan permohonan maaf kami
Sri Widada Putu Gedhe Prawira
Sanggar Blokosuto/Yayasan Lembaga Budaya Nusantara
GEMPA BUMI DIJ DAN JATENG
27 MEI 2006 (1 JUMADILAWAL 1939 SJ)
PUPUH PANGKUR
1. Dhuh – Dhuh GUSTI MAHA KWASA
Katampia sujud kawula sami
Sungkem kita mring Leluhur
Pangestu kaparingna
Nggennya nyandra Lindu Gung ari ping pitu
Jateng – Jogya dha sungkawa
Nampi Panodhining GUSTI
2. Ing Saptu Wage arinya
Pitulikur Mei kang titi wanci
Rong ewu nem warsanipun
Pukul nem kurang lima
Pan sinebut SIJUMLUNGA satuhu (SIJI JUMADILLAWAL ’39)
Gumlegur geng swaranira
Bawana gya gonjang – ganjing
3. Arga MRAPI taksih kurda
Pra pengungsi datan uninga yekti
Yen horeg iku ‘bul Lindhu
Sigra mlayu myang Slatan
Kosok wangsul wong Kidul – Tsunami iku
Gawe getere manungsa
Mlayu Ngalor munggah ardi
4. Wong ting bluru salang tunjang
Temahan tumplek blek sedaya jalmi
Samya mengeng saha kelu
Lir interaning gabah
Puntone tan bisa swala pating gluruh
Sumarah mring Sang Hyang TAYA
Sumendhe nyuwun lestari
5. Kocab kang tan bisa oncat
Samya rinubuhan sabarang kalir
Padha palastra lan tatu
Pan ngenes nasib ira
Maewu – ewu samya dadi lelayu
Atusan ewu wisma
Samya rubuh kabeh cicir
6. Atusan ewu kang luka
Dhuh GUSTI ingsun arsa nyuwun jampi
Tumtumana daya pitu
Wulu kulit dagingnya
Getih otot saha tulang sarta sungsum
Gya samya jati waluya
Awit sihing SANG HYANG WIDHI
7. Kanthenana pitik tulak
Utawa kang putih mulus pa cemani
Wekasan gya tinumbuk
Den pundhut tirtanira
Campurana jeruk pecel ben tan mambu
Kaunjuk mulihke daya
Iku jampi Tanah Jawi
8. Dhug GUSTI sembah kawula
Sihi – PUN maluyake kula sami
Pitung daya kang wus jumbuh
Lahir kalawan batos
Nirmala mring waluya jati satuhu
Kuwat jiwa raganira
Gya gumregah bali nguni.
9. Pra Kadang panandhang samya
Sungkem lan pandonga kawula
Mugia tansah rahayu
Saha ingkang nguripi
Ngurip – urip Bapa – Biyung
Kang gawe urip Sang Hyang Wasa
Becik kalamun tan lali
Samya hamemayu harjaning bawana.
(Jakarta, 1 Juni 2006 – Wayah Ageng)
Note :
- Cara pengobatan tradisional Jawa tersebut
setelah ayam cemani atau putih mulus
atau ayam tulak dikuliti, jerohan dibuang
maka tumbuklah sehingga mengeluarkan
air. Air ditambah perasan jeruk nipis baru
dodoain nuntumke daya pitu tersebut,
secara berurut dari luar ke dalam dan
dibalik dari dalam ke luar. Semoga
FITNAH ADALAH LEBIH KEJAM
DARI PEMBUNUHAN
(BRAINWASHING DESOEKARNOISASI)
Dalam rangka memenuhi seruan Bung Karno antara lain tentang :
- Jas Merah (Jangan sekali – kali meninggalkan sejarah).
- Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau menghargai Pahlawannya.
- Untuk mamahami PANCASILA, kita harus tahu apa yang dimaksud dengan “Meja Statis dan Leitstars (Leadstars) dinamis”.
- Trisakti yakni “Berdaulat di bidang politik; Berdikari di bidang ekonomi dan Berkepribadin di bidang kebudayaan”.
- Ajaran Bung Karno tentang PANCASILA.
Nilai spiritualitas, kejujuran, kebenaran dan keluhuran semoga senantiasa menjadi suar dan masih menyinari anak bangsa ini. Kita sadar bahwa tidak ada seorangpun di dunia ini yang sempurna karena dalam diri manusia mengalir sifat – sifat : malaekat, jim – setan, siluman dan binatang.
Selama ini kita dijejali berbagai pandangan/pemahaman yang membingungkan dan menyesatkan bangsa khususnya kepada kebenaran – nurani dari seluruh anak bangsa termasuk para ilmuwan dan pelaku sejarah sendiri seolah raib selama tiga dasa warsa yang lalu. Di bawah ini hanyalah sebagian kecil dari stigma yang telah melekat di hati anak bangsanya, sehingga perlu untuk dikaji dan dipertanyakan kembali guna memperoleh suatu kebenaran sehingga kita tidak membungkah kan dosa kolektif bangsa dengan penghujatan kepada para pemimpin bangsanya sendiri. Bagaimana kita telah terbiasa mendiskreditkan para leluhurnya sendiri seperti Ken Arok yang bernama Sri Rajasa Sang Amurwabhumi, Raja Tumapel (1222 – 1227) yang mewariskan kerajaan yang hanya dalam kurun waktu kurang dari lima puluh tahun telah mampu menjadi negara super power “Singhasari”, yang mampu menghadirkan parade militer “Dwipantara Pamalayu” dan sedikitpun tidak gentar kepada Maharaja Kubilaikhan, dari Mongolia. Ken Arok yang dianggap seorang pembunuh, pemerkosa, perampok dan tokoh coup d’taat pertama kali di Nusantara adalah moyangnya raja – raja Majapahit yang keturunannya tersebar di Asia Tenggara ini. Para sejarawan seyogynya tertantang untuk mencari kebenaran karena sumbernya hanyalah sebuah kitab “Pararaton” yang anonim dan ditulis hampir empat abad sejak berdirinya kerajaan Tumapel/Singhasari tersebut. Nah untuk yang masih baru tentu lebih mudah ditelusuri seperti :
- Benarkah PANCASILA itu tidak dikenal sejarah kelahirannya ? Karena merupakan budaya nenek moyang yang telah ada sejak berabad – abad yang lampau ? Benarkah ada versi Muhammad Yamin ?
- Benarkah secara logika ada seorang diri pemimpin mengcoup d’taat kepemimpinannya sendiri ?
- Benarkah Bung Karno tokoh sectarianisme sehingga dalam buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat” begitu melecehkan peran Bung Hatta dan Sutan Syahrir yang dari pulau Sumatera itu ?
- Benarkah seorang Soekarno itu begitu cengeng dan menghiba – hiba kepada Pemerintah Pendudukan Belanda agar tidak dihukum ?
- Benarkah Bung Karno itu seorang diktator ?
- Benarkah Bung Karna itu seorang yang gila jabatan ?
- Bung Karno menganak emaskan PKI ?
- Benarkah Bung Karno itu seorang don juan ?
- Benarkah Dwitunggal antara Bung Karno dengan Bung Hatta itu pecah sehingga timbullah “Dwitanggal” ?
- Benarkah Bung Karno itu suka dipuja – puja ?
- Dan seribu satu pertanyaan miring dapat silih berganti.
Sebelum membahas lebih jauh kiranya akan bijak bila kita renungkan adanya pepatah Jawa yang menyatakan : “Becik ketitik ala ketara”. Juga adanya filosofi bahwa : “Kebenaran itu dapat disalahkan namun tidak dapat dikalahkan”.
Gajah Mada menyampaikan : Katakanlah benar yang sebenarnya dan katakanlah salah yang sebenarnya”!
- Sebagaimana hukum alam “perfection – perfected” Bayi PANCASILA lahir pada 1 Juni 1945 sebagimana sejarah kelahiran PANCASILA. PIAGAM JAKARTA, 22 Juni 1945 adalah Remajanya PANCASILA dan pada PREAMBULE UUD 1945 (18 Agustus 1945) adalah kematangan dan Dewasanya PANCASILA yang pari purna nan harum semerbak sehingga dipersunting bangsa ini sebagai dasar negara, way of life – pandangan hidup bangsa – sumber tertib hukum dan ajaran multi khomplek. Berdasarkan kesaksian Ketua Sidang BPUPKI Dr. Radjiman Wedyadiningrat menyatakan bahwa pidato Soekarno itu sebagai “Lahirnya Pancasila”.
Wakil Ketua Sidang BPUPKI, Panji Soeroso, menyatakan : “Pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 itu, adalah suatu petunjuk dari Allah SWT, merupakan suatu rahmat kepada seluruh rakyat Indonesia”.
Wasiat Bung Hatta tanggal 16 Juni 1978 yang menyatakan : “Yang menjawab pertanyaan Ketua Sidang mengenai apa dasar – dasar Negara yang akan dibangun itu adalah Bung Karno, dengan pidatonya tanggal 1 Juni 1945.
Jadi andai saja “ada PANCASILAnya Mr. Moh. Yamin” berarti bertentangan dengan pernyataan ketiga saksi sejarah tersebut. Bung Hatta sendiri khusus membikin wasiat ini sebelum wafat seiring adanya polemik yang muncul oleh pendapat Prof. Dr. Nugroho Notosusanto.
- Andai saja Bung Karno itu benar tokoh coup d’etaat lalu apa untungnya baginya ? Lalu bila Supersemar itu benar ada, kini di mana dokumennya ? Aslinya satu lembar atau dua lembar ? Ditandatangani di Jakarta atau di Bogor ? Lalu mengapa justru amanat pada
- Supersemar tidak dilaksanakan oleh Pak Harto, yang nota bene seorang Prajurit bawahan dari Panglima Tertinggi Angkatan Perang ? Mengapa ? Dalam tradisi TNI, hirarkis itu tertanam kuat ? Dan mengapa ada dosa turunan bagi keluarga PKI atau yang disangkanya ?
- Andai Bung Karno itu sectarian, sukuisme, tentu tidak akan mungkin beliau berani melawan Sang Penghulu saat akan dinikahkan dengan Utari, putri gurunya pergerakan HOS Tjokroaminoto dan tak akan mungkin menikahi Bu Fatmawati yang asli Bengkulu. Dan juga tidak mungkin Beliau dengan kasih sayang mengajar/mendidik masyarakat Ende, Maluku saat dibuang di pulau tersebut oleh Belanda.
- Bung Karno tidak mau dikultuskan, Bung Karno berhak disebut sebagai pencipta PANCASILA, toh beliau sudah cukup bahagia bila disebut sebagai “Panggali PANCASILA”, disamping itu bermunculan pula stigma sebagai nabi modern. Lalu alasan apa bila suka kultus beliau enggan autobiografinya ditulis. Namun atas kedekatannya dengan wartawati AS Cindy Adams, dan atas saran Duta Besar AS, Howard Jones , Bung Karno berkenan menuturkan kisah hidupnya kepada Sang wartawati. Maka buku berjudul “Soekarno, Autobiography as told to Cindy Adams” itu hadir pada 1965. Dan pada 1966 buku tersebut, diterjemahkan oleh Mayor Abdul Bar Salim atas restu menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen Soeharto pada 1966. Pada 2006 diskusi yang diselenggarakan oleh Yayasan Soekarno, di Gedung Pola. Prof Syafii Ma’arif, mantan Ketua Umum Muhammadiyah sangat gusar karena menilai Bung Karno sangat melecehkan Bung Hatta. Maka atas saran Asvi Marvan Adam, Pengurus Pusat Masyrakat Sejarawan Indonesia, sebelum dicetak ulang seyogyanya diselediki kebenarannya dulu. Dan ternyata hasil temuan tim yang dibentuk menemukan bahwa disamping ada kesalahan dalam menterjemahkan pada halaman 341 terdapat sisipan, di antara alinia yang berbunyi : “Rakyat sudah berkumpul. Ucapkanlah Proklamasi”. Badanku masih panas, akan tetapi aku masih panas, akan tetapi aku masih dapat mengendalikan diriku. Dalam suasana di mana setiap orang mendesakku, anehnya aku masih dapat berfikir dengan tenang”. Sisipan itu berbunyi : “Tidak ada yang berteriak ‘Kami menghendaki Hatta’. Aku tidak memerlukannya. Sama seperti aku tidak memerlukan Syahrir yang menolak untuk memperlihatkan diri di saat pembacaan proklamasi. Sebenarnya aku dapat melakukannya seorang diri dan memang aku melakukannya sendirian. Di dalam dua hari yang memecahkan urat syaraf itu maka peranan Hatta dalam sejarah tidak ada“. Alinia sisipan yang ke dua berbunyi : “ Peranannya yang tersendiri selama masa perjuangan kami tidak ada. Hanya Soekarnolah yang tetap mendorongnya ke depan. Aku memerlukan orang yang dinamakan ‘pemimpin’ ini karena satu pertimbangan. Aku memerlukannya karena aku orang Jawa dan dia orang Sumatera dan di hari – hari yang demikian itu aku memerlukan setiap orang denganku. Demi persatuan aku memerlukan seorang dari Sumatera. Dia adalah jalan yang paling baik untuk menjamin sokongan dari rakyat pulau yang nomor dua terbesar di Indonesia”. “Soekarno tidak memerlukan Hatta dan Syahrir bahkan peranan Hatta dalam sejarah tidak ada”, Demikian pernyataan Bung Karno dalam edisi bahasa Indonesia yang terbit sejak tahun 1966. Kalau tambahan dua alinia itu hasil rekayasa, siapa yang melakukannya ? (Kompas, 6 Juni 2007, hal 6).
- Bila Bung Karno adalah seorang yang cengeng tentu tidak akan mungkin dia berani menelanjangi negara – negara imperialis di hadapan Sidang Umum PBB saat berpidato berjudul “To Build The World Anew” pada 30 September 1960. Dan tidak akan mungkin dia berani menghardik Negara Adi daya Amerika Serikat dengan “Go to hell with your aid”. Juga tidak akan mungkin beliau berani memperdaya Presiden John F Kennedy saat berkunjung di Gedung Putih yang sengaja datang terlambat dan tidak mau bicara langsung dengannya menggunakan bahasa Inggris. Beliau berbicara dengan bahasa Perancis sehingga terpaksa harus diterjemahkan oleh Isteri Sang Presiden sendiri. Bung Karno menggunakan taktik Abunawas yang jitu. (Kesaksian Alm. RM. Sawito, yang saudara dan sekaligus anak angkat Bung Karno & Bung Hatta).
- Bung Karno, seorang diktator ? Dengan istilah Demokrasi Terpimpin, membawa stigma baginya sebagai seorang dictator. Sedangkan Bung Karno mengambil kepemimpinan cara itu setelah UUDS 1950 yang menganut system demokrasi Liberal telah mengancam persatuan bangsa apa lagi adanya krisis konstituante/parlemen yang saling cakar – cakaran.
Dalam Pidatonya pada saat Peringatan Dekrit Presiden 5 Juli 1963 dengan judul “KONSEPSI SEWINDU RI JANGAN MENJIPLAK” Bung Karno menyatakan bahwa : “Mula – mula tentu orang – orang itu curiga, curiga sekali …..waaah, demokrasi terpimpin itu dictator, Saudara – Saudara ! Dikatakan Bung Karnoi mau jadi dictator, dikatakan Bung Karno mau jadi penentu dari segala hal, dikatakan bahwa Bung Karno membuat rakyat Indonesia itu seperti kambing yang harus mengekor saja, membebek saja. Tidak, tidak, saya terangkan. Demokrasi Terpimpin itu bentuknya begini, lho! Misalnya di negeri – negewri Islam saya katakana, kalau engkau ingin mengerti inti sari dari pada demokrasi terpimpin, lihatlah caranya nabi Muhammad saw mengambil suatu keputusan. Selalu dengan musyawarah, tetapi di dalam musyawarah itu nabi memimpin. Tidak ada orang Islam yang akan berkata bahwa nabi adalah seorang diktator, tidak. Nabi Muhammad saw adalah seorang democrat, tetapi sistemnya adalah demokrasi terpimpin.
Dilain kesempatan Bung Karno juga menandaskan bahwa “Demokrasi Terpimpin adalah Demokrasi Gotong royong adalah Demokrasi Pancasila adalah Demokrasi Indonesia asli”.
Tapi anehnya keluarlah TAP MPRS No. XXXVII/MPRS/1968 yang isinya antara lain mencabut “Demokrasi Terpimpin” diganti dengan “Demokrasi Pancasila” (yang pada galibnya setali tiga uang). Dan pelaksanaannya tersebut ditetapkan berdasarkan TAP MPR No. 1/1978 “Tentang Pengambilan keputusan MPR”. Dan TAP II/1978 tentang “Eka Prasetya Panca Karsa”. (P4).
- Bung Karno, gila jabatan ? Stigma inipun sengaja dipelintir karena adanya pengangkatan jabatan “Presiden Seumur Hidup”. Dalam buku “Chairul Saleh Tokoh Kontroversial” hal. 362 – 363, yang disunting oleh Dra. Irna H. N. Hadi Suwito dinyatakan sebagai berikut : “Bung Karno diusulkan menjadi Presiden Seumur Hidup, yang dimaksudkan untuk mempengaruhi politik PKI di masa mendatang. Yang akan mengangkat Bung Karno menjadi Presiden seumur hidup itu sebenarnya adalah DPRD Maluku, karena orang Maluku sangat fanatik kepda Bung Karno, kemudian diikuti oleh DPRD lain. Untuk mengatasi hal itu, Chairul memberi gagasan : Dari pada nanti kacau, lebih baik MPR saja yang mengusulkannya. Hal tersebut disetujui, lalu dibentuklah suatu panitia untuk mencari alasan. Saya ditunjuk menjadi Ketua MPR. Saya mengatakan, ini tidak melanggar UUD. Kemudian saya juga mengatakan bahwa untuk menolong situasi, maka Bung Karno ditawari menjadi Presiden Seumur Hidup. Pada saat itu Bung Karno marah – marah dan berkata : “ …. Eh nanti dulu ! …”. Jadi nggak betul kalau Bung Karno langsung mau menjadi Presiden Seumur Hidup. Dan hal itu saat sidang umum MPRS digelar Bung Karno masih meminta untuk diserahkan kepada rakyat dan agar dipikirkan ulang oleh MPR mendatang.
- Bung Karno, menganak emaskan PKI dan menyamakan dengan yang lain sehingga muncul “NASAKOM” ? Walaupun PKI pernah mengadakan pemberontakan dan sering mengadu domba toh PKI juga masih diakui secara sah sebagai parpol dan perannya dalam perjuangan mengenyahkan kaum penjajah juga tidak dapat dinafikan. Apalagi PKI juga menerima azas PANCASILA. Dalam buku yang disebutkan di atas juga dinyatakan : “Roeslan Abdoelgani bilang, PKI harus dibubarkan kalau berorientasi ke luar. Bung Karno diam. Saya katakan : “Tentu. PKI diharuskan merubah anggaran dasarnya. Jadi anggaran dasar PKI yang berbunyi “Berdasarkan Stalinisme – Marxisme dan Leninisme …” harus diubah dengan menerima dan mempertahankan PANCASILA. Pempers mengatakan partai tidak boleh mempunyai orang asing sebagai pelindung, harus seorang nasionalis. Jadi pada waktu itu PKI menerima Pempers 57. Sejak saat itulah Bung Karno mengatakan : “Kalau begitu kita bersatu; NASAKOM (Nasioalis, Agama, Komunis). Begitu PKI menerima, Kruschov dan Mao Tse Tung marah – marah. Komunisme mana yang mau menerima nasionalisme dan agama di dalam Undang – Undang Dasarnya ?. “ ……….. Ketika Bung Karno pidato di dalam sidang, beliau mengatakan : “Tuan – Tuan, lihat dalam delegasi saya ada pemimpin Nasionalis, Ali Sastroamijoyo, Dia orang Nasionalis tetapi dia juga menerima PANCASILA dengan agama. Lihat, disini ada Pak Hasbolah Wahab dari Tempo golongan Islam tapi dia menerima faham Keadilan Sosial dan Nasionalisme. Nasution, TNI, dia menerima PANCASILA karena dia dari tentara. Aidit, Partai Komunis, dia menerima PANCASILA dimana ada Ketuhanan Yang Maha Esa …….”. Dilain kesempatan Bung Karno menyatakan hendaknya kita menghilangkan “komunis phobia”. Lalu salahkah Bung Karno memandang kesamaan derajat bagi partai – partai yang sama – sama berazaskan “PANCASILA” itu ? Dilain kesempatan BK ingin membasmi adanya Komunis phobia!
- Bung Karno, sebagai Don Juan ? Sebagaimana adi kodratinya Bung Karno adalah seorang jenius, pemimpin besar dunia, seorang yang serba bisa yang flanboyan yang kharismatik yang sangat menjunjung keindahan. Seorang jenius tentu memiliki cara sublemasi tidak sebagaimana layaknya orang awam dan biasa. Apalagi wanita di dunia mana yang tidak bangga mendapat perhatian ektra dari dirinya ? Sungguhpun dia memiliki wanita banyak toh tidak bisa dimungkiri bahwa semua wanita tersebut dinikahinya secara sah olehnya. Tidak seperti kebanyakan pejabat yang suka memiliki isteri simpanan. Bung Karno adalah sosok yang romantis tapi pada masa akhir hayatnya menjadi orang yang amat sangat kesepian karena oleh rezim Orde Baru sengaja diisolasi dan dijauhkan dengan isteri – istrinya dan sekaligus dengan anak – anaknya serta rakyat yang beliau cintainya.
- Isu Dwitanggal antara Bung Karno dengan Bung Hatta, setelah Bung Hatta secara resmi mengundurkan diri dari jabatan Wapres pada 1 Desember 1955. Sedangkan nyatanya sekalipun Bung Hatta tidak lagi menjadi Wapres, toh komitmen sebagai wakil bangsa Dwitunggal tetap abadi. Hal tersebut dapat dibuktikan adanya
- “Ikrar Dwitunggal Proklamator Soekarno – Hatta” yang intinya berkewajiban mutlak untuk membina dan membela Republik Proklamasi dalam keadaan apapun juga adanya. Ikrar tersebut ditandatangani dalam Munas , 14 September 1957 yang diadakan di Jl. Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta Pusat. Fakta lainnya adalah adanya rencana Pembangunan Proyek Mausoleum Proklamator Soekarno – Hatta, yang Ketua Panityanya adalah Bung Hatta sendiri, sedangkan Ketua Harian/Pemrakarsa RM. Sawito, Sekretaris Panitya GPH. Djatikoesoemo, Arsitek Prof. Soeratmoko dll. Rancang bangun dengan luas areal 2.800 Ha, masjid dengan tinggi menara 117 meter, dimana mausoleum akan dibangun di tengah kebon bunga dan buah – buahan yang dinamakan “Tman Firdaus” temasuk dilengkapi landasan pesawat terbang. Karena alas an politis gagal dibangun, tetapi memacu Penguasa Orde baru segera membangun makam Bung Karno di Blitar.
Sebagai pribadi yang unik, sebagai anak sejarah, sebagai ikon pemimpin abad XX yang sangat pemberani. Kesaksian teman – teman dekatnya seperti Idham Cholid, Chairul Saleh, RM. Sawito dll. Saat tidak resmi mereka saling bicara ngoko tidak terikat dengan protokeler dan birokrasi. Bahkan dinilai oleh mereka cenderung ugal – ugalan. Itulah sosok Bung Karno yang kontroversial yang dihinakan tapi dipuja, yang dibenci tapi dirindu, yang dicibir namun disegani dll. Setiap menteri menghadap harus selalu membawa konsepsi baru bila tidak ingin dipermalukannya.
Menurut kesaksian Alm. Roeslan Abdulgani, bahwa Bung Karno memerintahkan pada para menteri untuk membaca kitab Baghavadgita. Demikian juga RM. Sawito sebagai anak angkat ia diharuskan satu minggu setidaknya tiga buku berbahasa Perancis dan Inggris harus sudah selesai dipelajarinya dan dipahaminya.
Dan dari berbagai pernyataan dan pidato – pidatonya, kini banyak yang menjadi kenyataan, dari ancaman era globalisasi sampai Uni Soviet runtuh dan lain – lain.
Oleh sebab itu Bung Karno dapat pula dikatakan sebagai futurolog abad XX.
Dear Para kadang, sebagai tambahan bahwa apa yang diutarakan diatas khususnya dalam suasana peringatan hari besar Christiani (Wafatnya Isa Almasih). Kebakaran pada 2 April 2010 hari Jumat Kliwon yang menghabiskan ‘RAMAYANA DEPARTEMEN STORE” Kebayoran Lama.
Nah bila Jabodetabek dulu menjadi karang abang pada 14 Mei 1998 sebelumnya di TMII didahului dengan pagelaran wayang “ANOMAN OBONG” dan atau “RAMA TAMBAK: ?.
Nah kita telesik hari – hari bermakna sesuatu :
1. 2 April kebakaran hebat. Ramayana
2. 7 April, Sinabang, NAD digoyang gempa 7,2 SR.
2. 12 April jenderal Susno ditangkap/dijemput paksa oleh Pasukan Propam Mabes Polri.
3. 14 April Tg. Priok membara bentrok satpol PP versus jamaah Mbah Priok, 3 satpol dinyatakan tewas. Makamnya akan dipaksa diratakan dengan tanah.
4. 21 April, gedung Mbak Ani, Kemkeuangan terbakar seiring peringatan Hari Kartini.
5. 22 April Batam bergolak belasan mobil dibakar massa.
Pembaca yang budiman semoga kita berkenan mempersiapkan diri guna menghadapi mega bencana yang kapan saja bisa terjadi seiring letak geografis NKRI ini ada di “ring of fire”.
Silahkan melakukan kajian, mamaos atas sekelumit kejadian alam tersebut. Dalam dunia spiritual tiada kata kebetulan itu karena semua terjadi atas karsa dn kuasa NYA!
Selamat bergabung!
Good way of describing, and pleasant article to take facts about my presentation subject, which i am going to convey in academy.
bang, permisi, info tentang pembangunan mausoleum proklamator itu bisa dibaca dimana ya?