
JAYA! RAHAYU WIDADA MULYA
Para Kadang Sutresna yang kami mulyakan, guna melengkapi bahasan PANCASILA, dimana Juni ini sebagai BULAN PANCASILA, ijinkanlah kami menyajikan sebuah mitologi dan semiobuwana loka yang ada disekitar kita.
A.MITOLOGI KE PEMIMPINAN NUSANTARA
Sebagai Negara agraris dan religius, masyarakat Indonesia nampaknya tak dapat dipisahkan dengan adanya mitos, legenda, dongeng & ramalan. Rasulullah pun pernah bersabda bahwa suatu saat nanti di akhir zaman akan terjadi :
1. Umat Yahudi akan terpecah belah menjadi 71 golongan, satu
golongan masuk syurga lainnya masuk neraka.
2. Umat Kristiani akan terpecah – belah menjadi 72 golongan,
satu golongan masuk syurga, lainnya masuk neraka.
3. Umat Islam akan terpecah – belah menjadi 73 golongan,
semuanya masuk neraka, hanya satu yang benar yaitu yang tetap berpegang teguh kepada Allah dan rasul – NYA, (Alqur’an dan Hadist).
Terserah bagaimana para pembaca memaknainya apakah sabda tersebut termasuk ramalan atau bukan, yang jelas itu kini telah terbukti adanya.
Pun demikian pula para pujangga Nusantara banyak yang menyampaikan apa – apa yang akan terjadi/menimpa bangsa Indoneia ini seperti Jangka Jayabaya, Jangka Sabdo Palon, ramalan RNg. Rangga Warsito, Yosidipuro atau Mangku Negoro IV, Paku Buwono IX hingga Bung Karno sendiri. Yang semuanya di dapat bukan dari dunia pendidikan formal melainkan dari laku – lampah – pendidikan batin oleh guru –guru yang tidak mempan sogok atau suap, sehingga mendapat pencarehan – informasi dari ”Sang Hyang Maha Batin”, via aparat ghoib atau birokrat suci – NYA.
Dalam mitologi Nusantara, khususnya tentang Satria – Pemimpin Nusantara disebutkan sebagai berikut :
1. Satria Kinunjara Murwa Kuncara, tak lain adalah Presiden I,
Ir. Dr. H. Soekarno (17 Agustus 1945 – 27 Maret 1968).
Selama hayat di kandung badan, beliau hampir tak lepas dari jeruji besi ironisnya sampai tarikan nafas terakhir berstatus tahanan rumah yang naifnya dilakukan oleh orang yang diberi amanat dan dimulyakannya dengan Supersemar itu. Wisma Yaso adalah merupakan saksi sejarah nasib tragis Sang Proklamator. Sungguhpun demikian karena seluruh hidupnya diabdikan bagi rakyat yang ia cintai bahkan bagi dunia sebagaimana cita – citanya membangun dunia baru tanpa adanya“eksplotation de l’homme par l’homme & eksplotation de nation par nation”.Semangat, jiwa & ruhnya mengilhami para pemimpin dunia sehingga mantan PM. Malaysia Mahatir Mohammad disebut dengan Mr. Little Soekarno, juga bagaimana presiden Venezuela, Hugo Chavez & Bolevia, Evo Morales, mereka tak gentar atas hegomoni AS, bahkan mereka mampu menasionalisasi perusahaan – perusahaan transnasional diantaranya milik Amerika Serikat sendiri. Nilai, semangat & jiwa sosialisme yangdulunya menyinari Tanah Air, justru kini sedang tumbuh & mekar di daratan Amerika Latin. Probono publico yakni kesejahteraan umum benar – benar dilaksanakan karena berlandaskan “Solus populi est suprema lex” yakni kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi.
1.000 judul buku semacam “Soekarno ‘file” karangan seorang Profesor Belanda, Antonie CA Dake, tak akan memiliki pengaruh apapun terhadap para pengagum dan anak – anak idiologis Bung Karno. Bukankah ada pepatah Jawa “Becik ketitik ala ketara” (Barang siapa melakukan kebaikan akan nampak sebaliknya barang siapa yang melakukan adharma juga akan terlihat), merupakan hukum alam. Demikian juga dengan dibiarkannya TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 oleh MPR 1999 – 2004 yang memberikan stigma miring bagi Bung Karno. Nurani mereka yang begitu beku, dan menyerahkan pada waktu. Tak dapat diingkari nama Bung Karno, toh tetap kuncara atau harum semerbak di seluruh persada Nuswantara (dunia), sepanjang masa, sebagaimana ia pernah menyatakan ingin hidup1000 tahun lagi. Ternyata ajaran beliaulah yang akan abadi sepanjang milenia itu. Rahasia kehidupan, barang siapa memperjuangkan kepentingan & kesejahteraan orang banyak bahkan rakyat, di atas kepentingan pribadi, keluarga & golongannya maka apapun hasilnya pasti akan dikenang sepanjang hayat. Karena “kasih dan sayang” pada rakyatnya sendiri yang berabad – abad terbelenggu oleh penjajah.
Sang pemilik 26 gelar Doktor dan berbagai penghargaan dunia baik dari tahta suci Vatikan dan kerajaan Jepang dll. yang sekedar membunuh seekor nyamukpun tak bisa sehingga oleh sebagian orang diyakini bahwa Bung Karno telah mencapai tataran mahabah, asmarasanta, kasih suci itu telah belasan kali pula dibunuh namun atas karsa dan Kuasa TUHAN sekalipun granat – pistol dan senjata berat tak mampu melukainya. Bandingkan dengan nasib tragis karipnya presiden AS, J.F. Kenndy, Anwar Sadat, Ronald Reagan, Benazir Butto, dll.
2. Satria Mukti Wibawa Kesampar Kesandung, yakni Presiden RI II, HM. Soeharto (27 Maret 1968 – 21 Mei 1998).
Pak Harto bergelimang harta, begitu muktinya dan sekaligus betapa wibawanya karena hampir 32 tahun, tak seorang pun berani menentangnya, bahkan sekedar bergosib ria tentang dirinya saja masyarakat begitu segan. Karena kalau berani tembok pun seolah menjadi saksi sehingga begitu mudahya untuk menjebloskan seseorang ke penjara. Senjata pamungkas ”DIPEKAIKAN” sungguh dahysat. Pak Harto adalah satu – satunya presiden yang berani masuk ke jantung pertempuran antar etnis di Bosnia, dengan menyerahkan bantuan baik pangan maupun uang, sehingga namanya, dijadikan nama salah satu masjid di negeri tersebut. Sungguhpun demikian karena perjuangannya bukan semata – mata untuk sebanyak – banyaknya kepentingan rakyat dan menjalankan PANCASILA tidak dengan ”bener – pener – suci”, dan justru untuk putra – putri serta kroninya, bergolaklah seluruh mahasiswa menuntut terjadinya reformasi pari purna dengan agenda utama menurunkan Pak Harto dari singgasana kepresidenan yang telah ia rengkuh selama 32 tahun. Ramalan Jangka Jayabaya ”Tikus pithi hanata baris” telah terjadi dan akhirnya atas kehendak alam ia menyerahkan jabatan Presiden R. I kepada Prof. Dr. BJ. Habibie yang sebelumnya sebagai Wakil Presiden.
Menjelang akhir hayatnya betapa memilukan nasib Pak Harto, paska kemenangan gugatannya terhadap Majalah Time Asia yang menurunkan head line berjudul “Soharto Inc. How Indonesia’ along time boss built a family fortune”, Mahkamah Agung memutuskan menghukum majalah tersebut dengan membayar klaim sebesar satu triliun rupiah. Tiba – tiba Transparancy International Stolen Asset Recovery (STAR) bekerja sama dengan PBB dan Bank Dunia, menetapkan bahwa mantan Presiden Soeharto sebagai pencuri terwahid dunia dengan kekayaan berkisar US$ 15 miliar hingga US$ 30 miliar, mengungguli mantan presiden Philipina, Fedinand Marcos. Sementara khabar aibnya tesebar luas termasuk putra – putrinya, tiba – tiba beliau masuk rumah sakit Pertamina kembali, dimana nyawanya hanya tergantung oleh peralatan medis tercanggih dan akhirnya menghembuskan nafas terakhir pada 27 Januari 2008. Derita tersebut anehnya masih belum berakhir pula karena pada 28 Januari 2008 saat pemakamannya di Astana Giribangun, Karang Anyar, Jawa Tengah yang sebulan sebelumnya banyak warga desa yang mati karena tanah longsor pada 26 Desember 2007, tak kurang dari 69 orang menjadi korban. Tragisnya lagi bersamaan waktunya dengan pembukaan “Konferensi International Anti Korupsi” (UNCAD), setidaknya 700 delegasi internasional dari 140 negara ikut menggunjingnya di Bali. Hikmah apa ini semua ? Bila saat ia ingin menduduki RI I, begitu banyak korban manusia selain 7 jenderal AD, tak terhitung warga bangsa yang disinyalir anggota PKI dihabisi nyawanya tanpa proses pengadilan sebaliknya menjelang wafatnya pun didahului oleh korban – korban bencana alam. Maka penggambaran mitologi dengan kata “kesampar – kesandung” yakni ibarat terinjak – terantuk jasadnya (terinjak – injak), kini tak seorang pun mempedulikan & menghormatinya, baik kawan maupun lawan, baik secara nasional maupun internasional. Sungguh penamaan satria tersebut merupakan karya futuristic sang pujangga yang amat sangat tepat penggambarannya.
3. Satria Jinumput Sumela Atur, adalah Presiden III, Prof. Dr. Habibie (1998 – 20 Oktober 1999).
Jinumput disini artinya dicomot karena adanya kekosongan jabatan presiden paska lengsernya Pak Harto. Ia, sebagai wakil presiden secara ketata negaraan yang diperkuat oleh pendapat konseptor Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra. Sedangkan bila kita renungkan secara etika, moral dan spiritual bahwa Pak Harto adalah sebagai mandataris MPR maka seharusnya itu ia kembalikan dulu kepada MPR yang selanjutnya oleh Lembaga Tertinggi Negara itu dilimpahkanlah kepada BJ. Habibie sebagai penggantinya, tidaklah seperti serah terima kepengurusan RT atau RW. Ironis para ahli hukum tata negara nyaris satu pun yang mempersoalkannya. Oleh sebab itulah legitimasi Prsiden BJ. Habibie begitu rendah. Adapun kata “sumela atur”, maksudnya adalah pernyataannya yang controversial yakni menyamakannya marhenisme dengan komunisme dan idenya guna memberi “referendum bagi masyarakat provinsi XXVII Timor Timur untuk memilih opsi merdeka atau integrasi”. Apa yang mati – matian diperjuangkan oleh Pak Harto itu akhirnya lenyaplah sudah karena lebih dari 78,5% masyarakat memilih untuk merdeka. Ironisnya referendum tersebut bukanlah keinginan masyarakat Timor Timur sendiri melainkan atas desakan PM. Australia John Howard, sebagaimana pengakuan Habibie sendiri. Sungguh tragis Presiden kita seolah hanya menjadi boneka semata.
Bila dirunut dengan jangka Jayabaya, dialah yang dikatakan satria dari negeri sabrang “Ngatas Angin” (yang dimaksudkan Angin Mamiri, yakni Sulawesi Selatan) atau negeri Nusasrenggi (Jerman, konon ia sebagai warga kehormatan) yang hanya merupakan presiden pengantara (seselan termasuk Gus Dur & Mega) dari Pak Harto ke Pak Susilo Bambang Yudhoyono yang dipilih langsung itu. Yang disebutnya dengan “zaman Kala Sinela” Nusantara genap 2000 tahun yang menyebabkan penderitaan rakyat. Jangka Jayabaya ini pun demikian tepat.
4. Satria Lelana tapa ngrame – wuta ngideri jagad, adalah Presiden IV, Abdurrahman wahid (20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001).
Gus Dur yang memiliki handicap penglihatan ini justru tercatat paling sering dan paling banyak ”lelananya” yakni mengadakan lawatan ke berbagai manca negara negara termasuk ke Timur Tengah, AS dll. untuk meyakinkan negara – negara di dunia dalam rangka pemberdayaan NKRI. Sekalipun penglihatannya terganggu justru ia paling piawai memikat lawan bicaranya sehingga protokeler sering terabaikan karena waktu hanya 30 menit bisa sampai 1 jam dengan kekayaan joke – jokenya yang begitu segar dan uptodate. Tapa ngrame disini mimiliki makna bahwa ia selalu membela & berbuat kebajikan kepada siapa saja khususnya kepada kaum minoritas dan kaum tertindas oleh siapa saja. Gayanya yang ceplas – ceplos, pemberani yang cenderung memberikan pernyataan yang saling kontradiktif serta membingungkan bagi orang awam ,dianggapnya dia adalah sosok seorang wali bahkan diyakini oleh sebagian kaum nadliyin memiliki ilmu Laduninya Nabi Khidir a.s. Ribuan nomer telepon yang ia miliki, ia hafal di luar kepala, sekalipun ia nampak tertidur namun mata hatinya selalu terjaga. Dan konon berbagai kelebihan lain ia miliki pula. Ngideri Jagad, keliling dunia setidaknya 40 negara telah beliau kunjunginya. Itulah sosok Gus Dur sang kyai, yang juga sebagai budayawan, humoris, filosuf tokoh prodem yang nyentrik itu.
5. Satria Piningit Hamung Tuwuh, yakni Presiden V Megawati Soekarnoputri (23 Juli – 20 Oktober 2004).
Ia acap kali didzolimi oleh rezim Pak Harto bahkan sering dilecehkan sebagai ibu rumah tangga hingga masa reformasi. Nampaknya makna piningit disitulah sehingga mereka tak tau bahwa Mega pada saatnya akan memimpin negeri ini. Makna hamung tuwuh (hanya tumbuh) karena ia putri Proklamator & mantan Presiden I, Dr. Ir. H. Soekarno, yang akan mengikuti jejak langkah ayahandanya. Sayang sebagai pemenang Pemilu 1999, ia tidak serta merta terpilih sebagai presiden ia diganjal oleh Poros Tengah dengan isu jender. Bahwa wanita haram hukumnya menjadi presiden. Sedangkan negara Islam Pakistan saja telah memilih Benazir Butto menjadi PM Pakistan untuk kedua kalinya. Quovadis.
Mega adalah ikon demokrasi dan atas kepeloporannya menempuh jalur hukum terhadap pejabat negara seperti Panglima ABRI, Faisal Tanjung; Kasospol ABRI Syarwan Hamid dan Mendagri Yogi S Memet, yang sebelumnya adalah hal yang amat sangat tabu dan tak seorang pun berani melakukannya. Ia juga sebagai ikon sadarkum sehingga mulai saat itulah bahwa rakyat tak lagi merasa takut terhadap para pejabat yang sewenang – wenang. Sadarkum yang digalakkan oleh rezim Pak Harto via menteri penerangan Harmoko, ibaratnya senjata makan tuan. Kampanye 1999 telah menjadikan lautan merah sekalipun pesertanya 48 parpol bahkan anak – anak balita ikutterbangkitkan meengek untuk dibelikan asesoris lambang gambar PDIP. Sayangnya ia ditakdirkan hanya bertumbuh (hamung tuwuh) yang belum sampai berbuah karena Pilpres 2009 ia keok dipecundangi oleh kepiawaian Pak Beye.
6. Satria Boyong Pambukaning Gapura, tak lain adalah Presiden VI, Susilo Bambang Yudhoyono (20 Oktober 2004 – 19 Oktober 2009).
Ia memang diboyong oleh rakyat Indonesia dengan dilaksanakan pemilihan presiden secara langsung ala Amerika Serikat itu, sebagai implementasi UUD 2002. Ia memenangkan pemilu presiden putaran I, mengungguli Mega dengan peolehan suara 63, 3%. Nampaknya dia dikodratkan ”hanya sebagai pembuka pintu gerbang (gapura)” di era demokratisasi paska reformasi. Sebagai pembuka maka berbagai komisi dan lembaga negara telah ia letakkan seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Penyiaran, Komisi Perlindungan Anak, Komisi Ombusmen, dan lain sebagainya. Sekalipun masih ada yang timpang tindih setidaknya gerbang dan cakrawala itu kini telah terbuka, sekalipun beliau telah meletakkan visi – misi dan goal ”pro poor – pro job & pro grow” dengan puluhan program, ia tidaklah mampu melaksankannya bahkan praktekbnya justru cenderung neolib dan bertentangan dengan amanat konstitusi dan dasar negara PANCASILA. Mitos yang berkembang sejak pra kemerdekaan adanya anggapan bahwa nama – nama presiden tak lepas dari suku kata ”NOTONOGORO”, yakni suku kata I, NO = SOEKARNO, II, TO = SOEHARTO & III, NO = YUDHOYONO. Maka ada dua suklu kata ”GORO” bukan dimaksudkan untuk Gus Dur & Mega, karena bersama Habibie, mereka bukanlah presiden difinitif yang memiliki masa jabatan 5 tahunan, karena mereka hanyalah sekedar seselan, sisipan, pengantara saja sebagaimana jangka Jayabaya itu. Sebagaimana yang selalu dilansir oleh kadang Permadi SH ”GORO” = GORO – GORO sindhung riwut & memuncaknya prhara alam guna menyongsong munculnya seorang satria yang dinanti – nantikannya itu.
7.Satria Pinandita Sinisihan wahyu, adalah Presiden (pemimpin) mendatang.
Setelah bangsa & negara ini hancur yang jauh dari moral – spiritual dan Cahaya TUHAN yang ada hanyalah ego – kekuasaan – kemunafikan – kebohongan sehingga muncillah anomali tatanan perikehidupan bangsa & bernegara sehingga kesengsaraan rakyat tak terperikan lagi. Sehingga masyarakat mengharap dan menanti segera munculnya sosok yang benar – telah putus olah ilmu jaya kawijayan – kasantikan – yang memiliki senjata ”Tri sula wenda”, yang memang telah memperoleh wahyu Cakraningrat, wahyu Nusantara sehingga tingkat spiritualitasnya telah sampai pada “asmara santa” atau mahabah – kasih suci, bak seorang raja diraja yang agung ber budi bawa laksana, yang telah tahu dirinya sehingga ucapannya ”KUN” menjadi kenyataan dan tidak plinplan yang mencerminkan adanya sabda pandita ratu. Apakah dia seorang Avatara Kalki, seorang Maetreya, seorang Manu, seorang Imam mahdi, seorang satria piningit, atau seorang ratu adil?. Sejatinya (sistem) Ratu Adil menurut penyaji tak lain adalah ”PANCASILA” itu sendiri. Manakala setiap anak bangsa ini tahu, mau dan mampu menghayati dan mengamalkan nilai –nilai PANCASILA pastilah Nusantara ini telah menjadi surga, negeri yang baldatun tyoyibatun wa rabbun ghafur tidak perlu harus menunggu sosok yang amat sempurna yang nisbi itu.
B. PENGINGKARAN SILA – SILA PANCASILA ALEGORIS TERWAKILI OLEH REZIM
Benarkah Pancasila itu secara keseluruhan telah diingkari oleh bangsa ini, sajian ini semata – mata hanyalah menyampaikan semiobuwana loka yakni suara alam ataupun tanda – tanda alam yang muncul. Dan semua kembali kepada kewicaksanaan para kadang pembaca.
Perang modern atau perang spetakuler, karena tanpa pertumpahan darah sebagaimana perang konvensional. Dan ini hanya dapat dilakukan oleh negara yang memiliki nalar tinggi. Jeffrey T. Richson dalam bukunya “The US Intelegence Cummunity), 1999 (hal. 350 – 358) yang dijadikan referesi oleh Ramses D. S dalam artikelnya berjudul “Apakah Pemimpin yang berwibawa mengerti akan pergeseran suatu imperium ?”, menyatakan bahwa : “Kalau dahulu menaklukkan suatu bangsa dengan perang konvensional, namun sekarang berubah bentuk, ke bidang politik, ekonomi dan idiologi yang dikenal dengan perang modern. Perang modern ini telah dua kali dilakukan oleh Amerika terhadap Indonsia, pertama perang idiologi Komunis dengan peran C.I.A sehingga memaksa Soekarno turun tahta, kedua perang ekonomi dengan peran I.M.F. yang mengakibatkan Soeharto juga turun tahta. Hal yang sama juga terjadi terhadap Uni Soviet”.
Jauh sebelum itu terjadi, sejak dini Bung Karno senantiasa berupaya bagimanana mengenyahkan “Nekolim”, Neo kolonialisme & neo imperialisme dengan segala bentuk dan manifestasinya. Dan setelah bangsa ini meraih kemerdekaannya, beliau pun mengingatkan bahwa imperialisme belum mati mlainkan baru setengah mati namun justru ibarat banteng ketaton yang lebih membahayakan bangsa Indonesia.
Maka amat perlu kita kaji bersama, karena demikian halusnya jerat dan gurita yang mereka tebar sehingga kita sendiri kadang tidaklah sadar bahwa telah melaksanakan misi mereka. Salah satu contoh adanya refolusi tehnologi dengan dunia maya, internet telah masuk ke pelosok – pelosok desa namun begitu dibuka nyelonong tanpa diminta gambar – gambar percabulan bermunculan, apa lagi bila diminta saben detik dipenuhi oleh pornografi. Belum lagi di bidang idiologi dengan isuEgalite , Fraternite dan Liberty, demokrasi dan HAM, serta lingkungan hidup yang telah membius bangsa ini.
Oleh sebab itu dengan memohon ampunan – NYA dan permohanan maaf terhadap Ibu & Bapak – Bapak Presiden Republik Indonesia baik yang telah wafat maupun yang masih dapat melaksanakan dharmanya, serta seluruh bangsa Indonesia. Perkenankanlah penyaji sekedar membaca alam dan tidak segelugut pinara sasra, ingin latah menimpakan kesalahan kepada para pemimpin bangsa dan negara ini karena mereka adalah orang – orang terpilih sebagai satria Nusantara yang melaksanakan jantranya jagad dan memerankan tugas dan dharmanya masing – masing dengan pari purna sebagaimana mitologi Satria Nusantara yang telah diuraikan di depan. Apa lagi terhadap diri Bung Karno yang seluruh hidupnya hanya demi rakyat, Sang Marhaen yang beliau bela dan perjuangkan demi memenuhi harkat dan martabat manusia merdeka yang sejahtera lahir dan batin. Freedom to be free. Ketauladanannya & kebesaran namanya hingga kini nampaknya masih sulit untuk dicari bandingannya.
Sebagai masyarakat paternalistis, suara alam bisa jadi menyiratkan bahwa seorang presiden adalah mewakili rakyat sebagai mandataris MPR sesuai masanya masing – masing. Pengingkaran Sila – Sila Pancasila secara sequent – berurutan terwakili oleh masing – masing rezim pemerintahan Presiden sesuai eranya yakni :
1. Presiden I, Ir. Dr. H. Soekarno, Simbul Pngingkaran Sila I
Sebagai penggali PANCASILA, Proklamator, Bapak Bangsa, Founding Father & seabreg julukan lainnya dan bahkan oleh sebagian kaum spiritualis beliau dinilai telah mencapai tingkat mahabah, asmarasanta, atau kasih suci. Bukankah sekedar membunuh seekor nyamukpun beliau tidak mau ?. Apalagi menghakimi sesamanya. Sebagai pelaku & anak sejarah, dalam rangka amanat Sila III, persatuan – persatuan – persatuan, dharma eva hota – hanti, guna menggerakkan revolusi rakyat yang belum selesai, beliau mencetuskan konsep “NASAKOM” yang digagasnya sejak 2 dasa warsa pra kemerdekaan yakni Nasionalis; Agama dan Komunis atau sering pula disebut dengan “NASASOS” (Nasional, Agama & Sosialis), dan itulah isinya dunia. Komunis Indonesia adalah berbeda dengan komunisnya Rusia maupun China serta Korea Utara. Dalam akidah setidak – percayanya mereka terhadap Sang Khaliq toh dalam setiap individu mengakui dan merasakan bahwa di luar dirinya ternyata ada kekuatan lain yang serba maha. Apa lagi PKI – pun telah merubah azasnya dari “Marxisme/ Leninisme” menjadi “Pancasila”. PKI menerima Pempers No. 57 yang menyatakan bahwa : “Partai tidak boleh mempunyai orang asing sebagai pelindung, harus seorang nasionalis”. Begitu PKI merubah azasnya maka Kruschov dan Mao Tse Tung marah – marah. Komunisme mana yang mau menerima nasionalisme dan agama di dalam UUD – nya ? Kalau bukan hanya di Indonesia ? Seiring dengan G30S PKI/GESTOK, maka sejahat/selicik apapun PKI, ia juga ikut berjuang dan masih merupakan partai yang diakui Pemerintah dan belum tentu kesalahannya, karena pentholannya banyak yang dibunuh. Sebagai negara hukum yang berlaku adalah hukum rimba. Sebagai Pemimpin yang demokratis (lawan politik menilainya diktator) Bung Karno tidak mau serta merta membubarkan PKI. Dan ia rela nama & kekuasaannya hancur asalkan rakyatnya tetap utuh. Tapi karena itulah setelah berbagai pembunuhan terhadap dirinya gagal, usaha melengserkan Bung Karno berhasil gemilang seiring meletusnya G30S PKI (Gestapu/Gestok). Secara spiritual Bung Karno sama sekali tidaklah salah namun karena keawaman rakyatnya, dan adanya invisible hand perebutan pengaruh – kekuasaan antara blok barat dengan blok timur, serta merta menganggap bahwa “komunis Indonesia (bukan Soviyet maupun RRC) yang sering diberikan stigma oleh kaum orientalis “abangan”, adalah selalu identik dengan atheis”. Oleh sebab itulah suara alam dapat ditangkap bahwa bangsa ini selama pemerintahan Bung Karno telah dianggap mengingkari Sila I, Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Presiden II, HM. Soeharto, Simbul Pengingkaran Sila II.
Seterima Supersemar (yang kini raib) yang sama sekali bukan penyerahan kekuasaan ke Pak Harto itu, secara strategik – politis PKI dibubarkannya dengan dibarengi terjadinya huru hara pembunuhan massal. Ada dugaan setidaknya 500.000 – 2.000.000 anak bangsa telah menjadi korban tanpa proses pengadilan. Kata PKI telah menjadi mantra yang amat sangat menakutkan, Kobkamtib bagai Bethara Yamadipati yang berhak mengadili seseorang bahwa ia PKI atau bukan. Sekrening dan bersih lingkungan adalah jerat dan pedangnya, sekalipun lembaga tersebut bukan sebagai lembaga penegak di bidang hukum. Banyak yang menilai bahwa selama rezim Pak Harto yang dianggap otoritarian – totaliter militeristik telah mengubur demokrasi sekalipun jargon“Demokrsi Pancasila” merebak menggantikan “Demokrasi Terpimpin“. Hakekat terorisme oleh negara dilegalkan seperti peristiwa :
- 1969 – 1979, penahanan 10.000 aktivis politik (PKI) di Pulau Buru
- 1976 – 1983, operasi militer terbatas di Aceh.
- 1976 – 1995, operasi militer di Irian Barat, diperkirakan 100.000 orang meninggal.
- 1981 – 1983, operasi “Petrus”, penembakan – misterius, diperkirakan 5.000 orang menjadi korban.
- 1984, mletus peristiwa Tanjung Priok, tewas 24 orang, luka berat 36 orang dan luka ringan 19 orang.
- 1985 – 1988, penyiksaan kelompok Usro, korban aktivis muslim.
- 1989 – 1998, Operasi Militer II di Aceh, korban 119 orang tewas.
- 1989, Peristiwa Talangsari di Lampung, daerah yang terkenal subur makmur ini distigmakan ada kelompok Warsidi, keluarga muslim yang mengancam keutuhan bangsa & negara. Setidaknya 246 orang hilang, 94 diantaranya masih anak – anak.
- 1993, peristiwa waduk Nipah, Sampang di Madura, 4 oang tewas.
- 1993, terjadi peristiwa “Haur Koneng” di Majalengka, 5 orang tewas dan luka berat 8 orang dan luka ringan 7 orang.
- 1996, meletuslah peristiwa “Kudatuli”, 5 orang tewas, 149 orang luka – luka, 23 orang hilang, 124 orang ditangkap dan ditahan dan diadili dan mereka dinyatakan bersalah. Sungguh ironis orang yang hanya mempertahankan diri justru dipersalahkan dan yang menyerangnya justru leha – leha.(Sumber, Litbang Kompas,29 Januari 2008).
- Belum lagi peristiwa Marsinah, peristiwa Thukul Sang Tukang Becak yang idialis itu serta peristiwa Trisakti serta penculikan mahasiswa & pemuda yang vokal dan lain sebagainya dimana sebagian hingga kini tidak diketahui rimbanya.
Awal hingga akhir keruntuhan rezim Pak Harto senantiasa dibarengi oleh anyir bau darah yang telah menorehkan sejarah kemanusiaan yang amat kelam sepanjang sejarah Indonesia. Bahkan seorang Proklamator yang memerdekakan bangsa ini pun yang sekaligus memulyakan diri Pak Harto sendiri tak luput dari gurita dehumanisasi. Oleh sebab itu terlepas dari keberhasilan & kegagalan Pak Harto, serta kelebihan dan kekurangannya suara alam pun dapat ditangkap bahwa selama rezim Pak Harto dapat dianggap bahwa bangsa ini telah mengingkari Sila II, “Kemanusiaan yang adil & beradab”.
3. Presiden III, Prof. Dr. B.J. Habibie, Simbul Pengingkaran Sila III
Dengan adanya prolog peristiwa Trisakti , pada 13 Mei 1998 telah menandai akan segera berakhirnya pemerintahan Pak Harto dan benar adanya bahwa hanya selang seminggu pada 21 Mei 1998 sikon yang membara, memaksa Pak Harto mengundurkan diri sebagai Presiden dan sekaligus mengangkat murid kinasihnya yang Wapres itu untuk diberikan tongkat estapet menjadi RI I. Ternyata pilihan Pak Harto tidak sesuai harapan beliau, karena apa yang diperjuangkan Pak Harto puluhan tahun dimana Timor – Timur telah menjadi Propinsi XXVII sebagaimana mandat Proklamasi itu, karena merupakan bekas kerajaan Majapahit dan resmi sebagai wilayah kedaulatan NKRI sebagaimana hasil perumusan BPUPKI pada 10 Juli 1945. Dalam rangka pencitraan dirinya terhadap HAM, dan desakan PM Australia John Howard, Habibie telah memberikan referendum kepada warga propinsi tersebut pada 30 Agustus 1999 untuk memilih opsi : (1). Tetap Integrasi dengan NKRI atau (2). Merdeka. Sayang tehnokrat kesohor nomor wahid tersebut kurang memahami sejarah bangsanya dan jahatnya konspirasi internasional sehingga lebih 78.5 % suara memilih untuk merdeka. Maka lepaslah sudah bumi Larosae dengan menyisakan penderitaan rakyat ex propinsi tersebut dan kepiluan mendalam bagi prajurit Seroja. Oleh kejumawaan dan kebijakan tersebut, “Persatuan Indonesia” telah tercabik – cabik”. De – dharma eva hota – hanti dilakukan secara masif. Maka terlepas kehebatan maupun kekurangan Pak Habibie, maka suara alam menyiratkan pula bahwa bangsa ini selama rezim Pak Habibie yang masa kepemimpinanannya tersingkat itu dapat diangap telah mengingkari Sila III, Pancasila yakni “Persatuan Indonesia”.
4. Presiden IV, KH. Abdulrrahman Wahid, Simbul Pengingkaran Sila IV, Pancasila.
Dalam rangka memenuhi tuntutan reformasi paripurna, maka digelarlah Pemilu yang dipercepat dan dilaksanakan justru dengan amat demokratis yang diikuti oleh 48 parpol pada 7 Juni 1999, yang dimenangkan oleh PDIP, toh atas kepiawaian Poros Tengah yang dimotori Amin Rais, Megawati Soekarnoputri atau Adhis (Adjis) tidaklah serta merta dapat menjadi RI I. Alasan jender dengan pengharaman bagi wanita menjadi Presiden dihembuskannya dan berhasil gemilang mendudukkan Gus Dur yang sebenarnya tidak sehat jasmani itu menjadi RI I. Akhirnya Poros tengah kecele, karena sosok Gus Dur ternyata tidak mudah disetir oleh MPR bahkan lembaga tersebut diberikan stigma sebagai “Taman Kanak – Kanak“. Maka seiring merebaknya kasus Bulag Gate & Brunei Gate, kasus tersebut dijadikan senjata oleh DPR/MPR. Dan timing yang tepat untuk menggelar sidang istimewa MPR guna melengserkan dirinya. Suasana politik saat itu amat sangat panas dan tidaklah kondusif. “Wabah kegeraman” muncul dimana – mana. Apa lagi Gus Dur lupa bahwa senjata pamungkas “Dekrit” yang dimaklumatkannya itu tidak didukung oleh ABRI. Dan Kapolri baru yang ia tunjuk praktis tiada legitimasi sama sekali. Mentri Polkam Susilo Bambang Yudhoyono nampaknya tidak sejalan dengan strategi Gus Dur, sehingga lebih senang memilih untuk mengundurkan diri dari jajaran Kabinetnya yang kemudian digantikan oleh Agum Gumelar. Guna melengserkan Gus Dur, bagi MPR ibarat suwe mijet wohing ranti, maka tak pelak akhirnya Gus Dur pun lengser dan digantikan oleh Ibu Megawati. Stigma harampun hilang bagai angin sepoi – poi basah. Politisasi agama marak, ayat – ayat Tuhan diperjual belikan. Karena Gus Dur yang keras hati dan terbersit akan membuka hubungan corps deplomatik dengan negara Israel tanpa dikonsultasikan kepada MPR, maka sepak terjangnya dianggap melecehkan lembaga permusyawaratan tersebut, terlepas segala kelebihan dan kekurangan Gus Dur, nampaknya suara alam pun menyiratkan bahwa bangsa ini selama pemerintahannya dapat dianggap telahmengingkari Sila IV, Pancasila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan”.
5. Presiden V, Megawati Soekarnoputri, Simbul Pengingkaran Sila V
Slogan PDIP adalah “Partainya wong cilik”. Namun dalam pemerintahannya yang berhasil menciptakan iklim politik lebih kondusif dan kurs rupiah yang begitu setabil, peningkatan ekonomi dll. toh tidak dapat dimungkiri dalam pemerintahan Ibu Megawati, wong cilik yang dengan suka cita membesarkannya justru terpinggirkan, termarginalkan. Ia tidak berdaya mempengaruhi gubernur DKI Sutiyoso yang ia dukung untuk menjadi gubenur periode II untuk tidak menggusur warganya. Sementara bagi segelintir orang pembobol triliunan rupiah diberikan hadiah “released & discharged”, setelah membayar sebagian utangnya. Dan suatu strategi dalam pembiayaan APBN yang tidak populer adalah dengan divestasi antara lain dengan menjualIndosat, salah satu BUMN yang amat sehat kepada investor Singapura. Dengan kepindahan kepemilikan tersebut praktis rahasia negara tidak lagi dapat terjaga dengan baik. Pengingkaran TRISAKTI yang dicanangkan oleh Bung Karno justru makin memuncak di bawah Ibu Megawati. Kekeliruan tersebut memang bukan murni kesalahan rezimnya karena merupakan warisan Orde Baru termasuk hilangnya pulau Sipadan dan Ligitan. Sungguhpun demikian semakin mengukuhkan bahwa suara – suara alam tersebut kian terlengkapi dengan keberadaannya. Wong cilik terpinggirkan. Penduduk kedua pulau tersebut bila ada tentu lebih sakit karena bukan lagi merupakan anak bangsa Nusantara, oleh sebab itu terlepas dengan segala kelebihan dan kekurangan Ibu Megawati nampaknya bangsa ini menyiratkan bahwa Sila V “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” pun teringkarinya pula.
Jadi lengkaplah sudah seluruh pengingkaran sila – sila Pancasila tersebut dengan begitu sempurna. Kemudian apa akibat semua ini ?
6. Presiden VI, Dr. H. Soesilo Bambang Yudhoyono
Setelah Sila I hingga V teringkari nampaknya di masa rezim SBY merupakan “panen raya” dari ekses pengingkaran tersebut. Karena bangsa ini tidak lagi memegang teguh sumpah dan janjinya sendiri, tidak lagi komit, dimana PANCASILA telah ditenggelamkan dan direkatnya kembali PIAGAM JAKARTA dimana setidaknya 6 propinsi, 36 kabupaten dan 12 kota memberlakukan syareat Islam. Sementara di Ujung Timur, Manukwari, Papua Barat memberlakukan “Syareat Kota Injili”, yang sama – sama berkedudukan sebagai daerah yang memiliki “otonomi khusus”.
Kekawatiran anak bangsa, apakah bangsa ini termasuk dalam firman – NYA QS : Asy Syura ayat 30 : “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Alloh memaafkan sebagian besar (dari kesalahan – kesalahanmu)”. Dan QS : Al – Isra’ ayat 16 : “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang – orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur – hancurnya”.
Karena bencana demi bencana semenjak SBY memimpin senantiasa datang silih berganti, seperti : tsunami, gunung meletus, gempa bumi, banjir bandang, tanah longsor, luapan lumpur panas, semburan gas, kekeringan, kebakaran. Belum lagi vires flu burung, ulat bulu dsb.nya serta terjadinya berbagai krisis yakni : BBM utamanya minyak tanah, energi, pangan, kedelai dll. dan yang paling krusial adalah bencana krisis ” sosial, nurani – moral – spiritual yang nampaknya telah raib dari kehidupan masyarakat Nusantara. Memang benar adanya, bukan karena faktor SBYnya melainkan refleksi alam yang perlu direnungkan dan dikaji, hikmah apa yang ada di balik itu semua.
Dan tobatan nasuha yang dicanangkan oleh Menag Maftub Basyuni sejak 2 Maret 2007 amatlah tepat sekalipun ada yang menilainya agak terlambat dan kurang greget serta efektif, karena tidak melibatkan seluruh unsur bangsa.
Tobat tersebut seharusnya tidak secara ritual belaka melainkan bila benar itu, karena pengingkaran amanat founding fathers sebagaimana tersurat di dalam Preambule, maka mau tak mau Pemerintah dan MPR harus berani dengan tegas menyatakan bahwa seluruh produk amandemen UUD 1945 dan segala Undang – Undang maupun Peraturan Pemerintah harus dinyatakan batal demi hukum dan kembali kepada kemurnian – keaslian UUD 1945, secara konsisten & konsekwen serta kontinyu sepanjang NKRI berdiri, dan tidak mengulangi janjinya Orde Baru yang hanya merupakan lipservice belaka. Bukankah alam ikut merekam, mencatat dan menyaksikannya semua ini ?.
Anggapan para pakar ahli hukum tata negara bahwa kini UUD 1945 telah lebih baik dan mewujudkan demokratisasi perlu dipertanyakan dengan nurani, kalbu, batin, dan spiritual. Apapun alibi hukum yang dipegang teguh namun bila tanpa didasarkan pada keadilan dan spiritual value (Pancasila) itu melawan kaidah hukum yang berkeadilan !. Karena PANCASILA bukan lagi merupakan sumber segala sumber hukum. Terlepas alibi para praktisi hukum yang pro amandemen, dengan ‘PENGINGKARAN PANCASILA” tersebut runtuhlah sudah Negara Proklamasi Kesatuan Republik Indonesia dan balasannya kita mengalami berbagai bencana baik oleh faktor alam maupun non alam! Adapun bencana non alam nampaknya telah terjadi bencana : undang – undang, birokrasi, hunamnisme/nurani, pendidikan, budaya dan sejarah serta bencana transportasi dengan berbagai modanya.
Oleh sebab itu bila tak ada upaya progresif revolusioner dari para penyelenggara negara dan anak bangsa, maka kita segera menyusul nasib pendahulu negara kita yakni kerajaan nasional Sriwijaya, Singhasari & Majapahit. Atau Uni Soviet maupun Yugoslavia. Relakah NKRI hancur & tinggallah sejarah karena reformasi dan atau transisionalnya ?
Semoga sajian sebagai pelengkap bahasan peringatan hari lahirnya PANCASILA ini mampu membulatkan semangat dan tekap seluruh anak bangsa untuk kembali dan tetap mempertahankan PANCASILA karena tak ada idiologi lain yang paling tepat bagi bangsa yang pluralistic – homogenitas – multi kulturalisme yang berbhineka tungal ika ini. Akhirnya mohon dimaafkan bila ada yang merasa sejiwa dari kenyatana pahit ini dan doa kami bangsa dan Negara ini mendapat pengampunan – NYA dan diberkati menjadi bangsa yang besar bangsa yang modern bangsa yang maju – sejahtera adil dan makmur dengan tetap menjunjung tinggi kepribadian bangsa “PANCASILA”. Semoga//sampurna
Selamat memperingati hari lahir Bung Karno 6 Juni ini dan sekaligus haul beliau pada 21 Juni nanti//sungkem kami.
Jakarta, 6 Juni 2011
Youth Empowering Institution/Yayasan Lembaga Budaya Nusantara/
Keluarga Besaar Persaudaraan Blokosuto